Monthly Archives: Januari 2011

Racun rokok

Mungkin anda sudah tahu bahwa menghisap asap rokok orang lain di dekat anda lebih berbahaya bagi anda daripada bagi si perokok itu sendiri. Asap Utama adalah asap rokok yang terhisap langsung masuk ke paru-paru perokok lalu di hembuskan kembali. Asap Sampingan adalah asap rokok yang dihasilkan oleh ujung rokok yang terbakar.

Masalahnya adalah, udara yang mengandung asap rokok, dan anda hisap, akan mengganggu kesehatan, karena asap rokok mengandung banyak zat- zat berbahaya, diantaranya :

TAR
Mengandung bahan kimia yang beracun, sebagainya merusak sel paru-paru dan meyebabkan kanker.

KARBON MONOKSIDA (CO)
Gas beracun yang dapat mengakibatkan berkurangnya kemampuan darah membawa oksigen.

NIKOTIN
Salah satu jenis obat perangsang yang dapat merusak jantung dan sirkulasi darah, nikotin membuat pemakainya kecanduan.

Racun dalam rokok

Bila anda berada di ruangan berasap rokok cukup lama, maka ketiga zat beracun di atas akan masuk ke paru-paru anda. Selama beberapa tahun terakhir, para ilmuwan telah membuktikan bahwa zat-zat kimia yang dikandung asap rokok dapat mempengaruhi orang-orang tidak merokok di sekitarnya.
Perokok pasif dapat meningkatkan risiko penyakit kanker paru-paru dan jantung koroner. Lebih dari itu menghisap asap rokok orang lain dapat memperburuk kondisi pengidap penyakit :

ANGINA
Nyeri dada akibat penyempitan pembuluh darah pada jantung.

ASMA
Mengalami kesulitan bernafas.

ALERGI
Iritasi akibat asap rokok.

Gejala-gejala gangguan kesehatan :
iritasi mata, sakit kepala, pusing, sakit tenggorokan, batuk dan sesak nafas.
Wanita hamil yang merokok atau menjadi perokok pasif, meyalurkan zat-zat beracun dari asap rokok kepada janin yang dikandungnya melalui peredaran darah. Nikotin rokok menyebabkan denyut jantung janin bertambah cepat, karbon monoksida menyebabkan berkurangya oksigen yang diterima janin.
Anak-anak yang orangtuanya merokok menghadapi kemungkinan lebih besar untuk menderita sakit dada, infeksi telinga, hidung dan tenggorokan. Dan mereka punya kemungkinan dua kali lipat untuk dirawat di rumah sakit pada tahun pertama kehidupan mereka. Banyak orang tahu bahaya merokok, tapi tidak banyak yang peduli. Melihat bahaya-bahaya yang dapat ditimbulkan rokok, kiranya diantara kita perlu bahu-membahu berbuat tiga hal utama :

Komunikasi dan informasi tentang bahaya merokok, baik bagi si perokok langsung maupun perokok pasif. Menyediakan tempat-tempat khusus bagi orang yang merokok agar yang bukan perokok tidak terkena dampak negatifnya. Jangan merasa segan untuk menegur perokok, jika anda merasa terganggu.

Imam Fakhruddin al-Razi

Nama kecilnya Muhammad. Lahir pada bulan Ramadhan 544 H, di kota Rayy. Ia masih keturunan Ali ibn Abi Thalib dari jalur Hasan. Nama lengkapnya Fakhruddin Abu Abdillah Muhammad ibn Umar Diya’uddin ibn Husayn bin Hasan bin Ali al-Quraysyi al-Bakri al-Thabaristani. Imam Dhiya’uddin Umar, ayah al-Razi, tidak hanya seorang pakar fikih madzhab Syafi`i, tapi juga  pakar ushūl fiqh dan hadits.

Polesan sang ayah menghasilkan buah yang hebat pada diri al-Razi. Ditinggal ayahnya, al-Razi sudah mahir fikih, ushūl fiqh, dan ilmu kalam (teologi). Berikutnya, ia menguras berbagai disiplin ilmu pengetahuan dari ulama-ulama terkemuka. Melanjutkan studi teologi dan filsafat kepada Imam Jadduddin al-Jili, studi fikih dan ushūl fiqh kepada al-Kamal al-Samnani.

Ketekunan al-Razi dalam mendalami sebuah pengetahuan patut diacungi jempol. Nyaris tidak ada waktu senggang untuk sekedar melepas jenuh. Bahkan, untuk makanpun hampir tidak ada waktu. “Demi Allah sesungguhnya aku tidak pernah menyia-nyiakan waktu senggang, bahkan untuk makan sekalipun. Sebab, waktu itu sangat berharga,” kata al-Razi.

Dengan ketekunannya itu, ia mampu menghafal kitab al-Syāmil karya Imam al-Haramayn, al-Mustasyfā, karya ushūl fiqh al-Ghazali, juga al-Mu`tamad karya Imam Abu al-Husayn al-Bashri. Kegigihan al-Razi menghafal sejumlah referensi penting itu di antaranya berkat motivasi sang ayah yang selalu mengilhami batinnya. “Aku tidak direstui untuk belajar ilmu kalam oleh ayah sampai aku hafal seratus ribu lembar kitab,” cerita al-Razi.

Ilmuwan Ensiklopedik

Al-Razi tidak hanya pakar ilmu-ilmu agama, tapi juga seorang ilmuwan eksiklopedik yang menguasai disiplin filsafat, teknologi dan sains. Selain ulama besar dalam bidang fikih, ushūl fiqh dan teologi Islam, ia juga ahli di bidang logika, filsafat, matematika, fisika dan kedokteran. Tidak mengherankan jika Sang Ensiklopedik ini dinobatkan sebagai “Mujaddid Abad Keenam”, menggantikan Abu Hamid al-Ghazali, mujaddid Abad Kelima.

Di antara pemicu kegigihan intelektualitas al-Razi adalah setting pemikiran Dunia Islam pada saat itu yang diramaikan dengan perdebatan teologis Mu`tazilah-Ahlussunnah. Sebagai pembela Ahlussunnah, tidak ada pilihan lain baginya kecuali mementahkan berbagai argumen teologis Mu’tazilah yang seringkali dibangun dengan menggunakan pola pikir filsafat. Maka, al-Razi pun melayani mereka dengan pola yang sama, menyerang mereka dengan pisau mereka sendiri, yaitu filsafat. Dinamika pemikiran inilah yang juga ikut melahirkan al-Razi sebagai pakar logika dan filsafat.

Dalam kematangan intelektualnya, al-Razi menjadi aktivis meja diskusi. Di arena pemikiran, ia gigih membela Ahlussunnah, terutama aliran teologis al-Asy`ariyah dan madzhab fikih Imam al-Syafi`i. Pengembaraan intelektual itu disertai dengan pengembaraan jasmaniah ke berbagai kota untuk memperjuangkan keyakinannya. Ia masuk ke kantong Mu`tazilah di Khawarizm. Kemudian, ke Bukhara dan Samarkand di Asia Tengah. Berikutnya mengajar di Herat dengan perlindungan dari penguasa setempat. Dan, sepuluh tahun sebelum wafat, al-Razi berpindah ke Jurjan. Beliau mengajar di sana dengan perlindungan dari Kesultanan Khawarzamsyahiah.

 

Kepiawaian al-Razi dalam berdebat di antaranya tergambar dalam kitabnya al-Munāzharah Bayn al-Nashārā, catatan atas perdebatannya dengan seorang pendeta Kristen.

Seorang Orator Ulung

Perjuangan Fakhruddin al-Razi dalam membela Ahlussunnah memang patut dikagumi. Semua sarana dan media ia gunakan. Tidak hanya menulis tentang Ahlussunnah, tapi juga memberikan ceramah-ceramah teologis untuk meyakinkan publik akan kebenaran aliran teologis yang dianutnya itu. Kadang ia harus menuai perlakuan kasar karena kegigihannya menyerang yang paham-paham yang bertentangan dengan Ahlussunnah. Di Herat, al-Razi nyaris dikeroyok massa penganut Karramiyah karena ceramahnya menyerang keyakinan mereka. Tapi, ia selamat berkat bantuan aparat keamanan negara.

Bila al-Razi dikagumi karena tulisan-tulisannya yang tajam, ia juga dikagumi karena gaya pidatonya yang elegan. Al-Razi rupanya mewarisi kepiawaian ayahnya yang juga seorang orator hebat. Kepiawaian ceramah itu dibantu dengan penguasaan Bahasa Arab yang sangat baik.  Kalimat demi kalimat dalam pidatonya mengalir dengan semangat yang menggebu-gebu. Suaranya lantang, terdengar jelas oleh para audiens dalam jarak yang cukup jauh. Dan, para hadirin di hadapannya meresapi dengan khusyu’ serta khidmat. Tidak jarang, ada yang sampai menitikkan air mata.

Di Mata Murid-Muridnya

Al-Razi memiliki tubuh tegak, gagah, berjenggot tebal dan bersuara lantang. Ia disegani karena selalu bersikap tawadhu’ di hadapan siapapun. Banyak yang tertarik untuk menimba ilmu kepada al-Razi karena kepakarannya dalam segala bidang ilmu pengetahuan dan cara berbicaranya yang lugas dan bijak. Semua murid-murid al-Razi mengagumi luasnya pengetahuan yang dimiliki gurunya itu. Mereka menyebutnya dengan “al-Imām”. Hal itu tergambar dengan sangat jelas dalam karya-karya muridnya yang mayoritas bermadzhab Syafi`i dalam fikih dan Asy’ariyah dalam teologi. Jika mereka menyebut kata “al-Imām” maka yang dimaksud adalah al-Imam Fakhruddin al-Razi.

Ketajaman Pena al-Razi

Intelektualitas al-Razi tidak hanya disuarakan melalui kata, tapi juga digaritkan melalui pena. Pena al-Razi di atas lembaran  kertas tidak kalah tajam dengan suaranya di atas podium. Tidak kurang dari seratus karyanya menjadi referensi penting bagi ilmu pengetahuan, terutama pengetahuan Islam. Karya-karya itu rata-rata menyangkut fikih, ushūl fiqh, teologi, sastra Arab, fisika, matematika, filsafat dan kedokteran.

Dalam bidang ushūl fiqh ia menulis al-Mahshūl fi `Ilm al-Ushūl dan Nihāyat al-`Uqūl fi-Dirāyat al-Ushūl. Dalam bidang teologi ia menulis kitab al-Muhasshal fi `Ilm al-Kalām dan Asās al-Taqdīs. Dalam kajian filsafat ia menulis al-Inārāt fi Syarh al-Isyārāt dan Ta`jīz al-Falāsifah.

Salah satu karya terpenting al-Razi adalah al-Tafsīr al-Kabīr yang terdiri dari belasan jilid. Karya tafsir ini berbeda dengan kajian-kajian tafsir yang lain. Tafsir al-Razi begitu lengkap dan ensiklopedis. Ketika bersentuhan dengan ayat filsafat maka ia mengulasnya dengan pola filsafat. Dalam ayat-ayat yang berkenaan dengan perdebatan teologi, ia mencurahkan seluruh argumentasi teologis dalam membela paham Ahlussunnah, dalam hal ini Asy’ariyah. Dan, ketika ia bersentuhan dengan ayat-ayat hukum maka ia kemukakan pemikiran-pemikiran madzhab Syafi`i. Begitu pula ketika bersinggungan dengan ayat-ayat lain, semisal kedokteran dan fisika.

Melalui karya besarnya ini, al-Razi mampu menunjukkan bahwa Al-Qur`an bisa dihadirkan untuk seluruh aspek kehidupan masyarakat secara nyata, bahwa Al-Qur`an memiliki kelenturan untuk dikaji dengan kacamata apapun. Inilah yang hampir tidak dimiliki oleh para mufassir pada masa al-Razi.

Selain dalam bahasa Arab, al-Razi juga menulis dalam bahasa Persia. Di antara karyanya dalam bahasa Persia adalah Risālat al-Kamāliyyah dan Barāhīn al-Bahāiyyah.

Al-Razi juga memiliki beberapa karya yang masih belum selesai karena beliau keburu wafat. Di antara karya yang belum selesai itu adalah syarah kitab Siqth al-Zanad dan syarah al-Wajīz karya fikih Imam al-Ghazali. Ini menunjukkan bahwa sampai detik-detik akhir wafatnya, menulis merupakan aktivitas yang tidak pernah ditinggalkan oleh al-Razi.

Berakhir Seperti al-Ghazali

Mirip dengan al-Ghazali, pada tahun-tahun terakhir dari pengembaraan hidupnya, al-Razi merasakan kehampaan dan kegoncangan spiritual. Batinnya bergolak dan tidak puas dengan spekulasi-spekulasi teologis-filosofis. Hari-hari terakhirnya, diliputi renungan batin dan tangis mengingat hari kematian. Di hari tuanya, akhirnya al-Razi memiliki kesimpulan puncak bahwa baginya membaca Al-Qur`an lebih nikmat dari pada membaca buku-buku kajian teologis-filosofis.

Dan, Sang Imam dipanggil Allah di usianya yang ke 62.  saat Hari Raya Idul Fitri 606 H.

(Muhammadun Aslam)

Lingkungan dan Kadar Iman Kita

Banjir, tanah longsor, dan  lumpur panas di Sidoarjo yang hingga saat ini belum ada bentuk evaluasi yang efektif baik dari pihak Lapindo sendiri maupun dari Pemerintahan, semua ini pemandangan kita sehari-hari. Mengapa kasus seperti ini kerap terjadi? bukankah Al-Qur’an mengajarkan menjaga lingkungan?

Hujan, banjir disertai longsor adalah pemandangan ‘mengerikan’ yang sedang terjadi di negeri kita. Pada intinya, kerusakan alam yang terjadi, banyak disebabkan ketidaktaatan kita mengelola alam. Padahal, dalam agama kita (Islam) pengelolaan alam banyak ditegaskan dalam ayat suci Al-Qur’an.

Beberapa hari lalu, Menteri Lingkungan, Rachmat Witoelar merasa miris oleh fakta bahwa pada tahun 2005 lalu ada 62 Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berstatus kritis. Angka ini tiga kali lipat dibanding tahun 1984  yang hanya ada 22. “Lama-lama bisa habis,” kata Menteri Negara Lingkungan Hidup dikutip wartawan.

Sadar dengan kondisi gawat ini, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) melancarkan jurus anyar guna menyelamatkan DAS-DAS kritis. Caranya, tentu saja, menghambat laju pembabatan hutan.

Namun jurusnya tak lagi mengedepankan teknik ‘mengancam’. Sebaliknya, memberi ‘iming-iming’. Jurus ini berupa sebuah kompetisi. Namanya program Menuju Indonesia Hijau (MIH). Lewat MIH, KLH mengajak seluruh Kabupaten di Indonesia berkompetisi menjadi yang terhijau.

Peristiwa rusaknya lingkungan, barangkali menjadi pemandangan kurang mengenakkan dalam kurun waktu setahun ini. Jangan heran, bila di mana-mana banyak longsor atau banjir. Mulai banjir di sungai Citarum, di Dayeuh kolot (Bandung), banjir dan longsor Jember, Jawa Tengah, sampai Ambon dan Sinjai.

Yang paling Sulit ditangani, adalah peristiwa banjir lumpur panas yang menggenangi desa Siring, Porong, Sidoarjo yang kemudian merembet hingga beberapa kecamatan akibat eksplorasi gas yang dilakukan PT Lapindo Brantas. Mengapa kasus-kasus seperti ini terjadi?

 

Islam dan lingkungan hidup

Masalah lingkungan hidup belum digarap serius sebagai bagian integral dari dakwah Islamiah. Lingkungan hidup makin rusak, karena insan Indonesia telah gagal mengemban misinya sebagai khalifah di muka bumi; untuk memelihara lingkungan hidup. Salah satu faktor penyebabnya adalah “nonsatiation rule” (sikap jemu terhadap peraturan) yang telah merasuk dalam prinsip hidup sehari-hari. Menjadikan insan Indonesia dengan kadar keimanan tipis dan acuh terhadap proses perusakan lingkungan yang makin cepat dan meluas.

Sebelumnya, jarang kita dengar tema lingkungan hidup menjadi bagian obyek dakwah di Indonesia. Kalaupun ada, seperti gencarnya publikasi “Agama dan Lingkungan Hidup” baru pada tahun 1980-an. Itupun, konteksnya tak jauh dari kampanye ‘Keluarga Berencana saja’.

Beberapa kajian yang pernah ditulis dalam disertasi Dr. Mujiono Abdillah, MA serta jurnal dari Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Jakarta hanya merupakan upaya awal mengangkat masalah lingkungan hidup sebagai bagian dari pengkajian agama.

Belum banyak pemuka agama yang menyempatkan diri untuk mengusik isu lingkungan hidup. Tak jarang diskusi agama menjadi kering dan jauh dari hal keseharian seperti masalah lingkungan.

Walaupun ada angin segar yang dihembus tokoh-tokoh seperti Aa Gym dengan Manajemen Qolbu-nya atau  Ary Ginanjar dengan ESQ-nya, hal ini tidaklah merubah persepsi bahwa umat Islam belum terlalu perduli dengan urusan lingkungan hidup yang sudah semakin parah di Indonesia.

Masalah lingkungan hidup sangatlah luas, dimulai dari hal sederhana seperti membuang sampah pada tempatnya sampai kepada penggunaan ampas uranium dalam peperangan. Untuk kasus Indonesia, indikator lingkungan disederhanakan mencakup masalah polusi udara, persampahan, air bersih, perumahan, konservasi lahan, dan kemacetan lalu-lintas.

Banyak orang berpikir bahwa terminologi lingkungan hidup lebih dikenal sebagai kosa kata dari peradaban barat, seperti “Agenda 21”, Habitat, dan “Greenhouse effect”, “Ecolabeling”, dan “Sustainable Development”. Sehingga tumbuh anggapan yang salah bahwa hanya ahli-ahli dari negara baratlah yang menguasai masalah lingkungan hidup. Padahal untuk seorang muslim masalah lingkungan hidup sifatnya inheren (berhubungan erat) sebagai bagian dari kepribadian.

Namun banyak yang secara tidak sengaja memisahkan masalah lingkungan hidup dari urusan agama. Benarkah demikian?

Perhatikan isi Surat Al An’aam 101 yang berarti sebagai berikut, “Dia pencipta langit dan bumi…. Dia menciptakan segala sesuatu, dan Dia mengetahui segala sesuatu”. Urusan lingkungan hidup adalah bagian integral dari ajaran Islam. Seorang Muslim/Muslimah justru menempati kedudukan strategis dalam lingkungan hidup sesuai dengan firman Allah dalam Surat Al-Baqarah 30 yang berarti sebagai berikut;  “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”.

Jelaslah bahwa tugas manusia, terutama muslim/muslimah di muka bumi ini adalah sebagai khalifah (pemimpin) dan sebagai wakil Allah dalam memelihara bumi (mengelola lingkungan hidup). Andaikan Islam dilaksanakan dengan konsisten tentunya akan tercipta lingkungan hidup yang baik. Namun tanah air tercinta justru sedang dirongrong oleh kerusakan bumi pertiwi.

Lingkungan Hidup dalam Al-Qur’an

Islam adalah agama yang realisits, banyak sekali pedoman bagi seorang Muslim/Muslimah untuk mengurus masalah sehari-hari. Karenanya, patutlah diresapkan apa yang telah dikatakan oleh ulama besar kita seperti Buya HAMKA, “Memang, begitulah kebijaksanaan Al-Quran. Karena Islam itu bukanlah semata-mata mengatur ibadah: kepentingan tiap-tiap pribadi dengan Allah saja, tetapi juga memikirkan dan mengatur masyarakat.”

Allah telah memberikan tuntunan dalam Al-Quran tentang lingkungan hidup. Karena waktu perenungan, hanya beberapa dalil saja yang diulas sebagai landasan untuk merumuskan teori tentang lingkungan hidup menurut ajaran Islam.

Dua dalil pertama pembuka diskusi ini bersumber pada Surat Al An’aam 101 dan Al Baqarah 30.

Dalil pertama adalah: “Allah pencipta langit dan bumi (alam semesta) dan hanya Dialah  sumber  pengetahuannnya”. Lalu dalil kedua menyatakan bahwa manusia diciptakan untuk menjadi khalifah di muka bumi ini. Perlu dijelaskan bahwa menjadi khalifah di muka bumi itu bukan sesuatu yang otomatis didapat ketika manusia lahir ke bumi. Manusia harus membuktikan dulu kapasitasnya sebelum dianggap layak untuk menjadi khafilah.

Seperti halnya dalil pertama, dalil ke tiga ini menyangkut tauhid. Hope dan Young (1994) berpendapat bahwa tauhid adalah salah satu kunci untuk memahami masalah lingkungan hidup. Tauhid adalah pengakuan kepada ke-Esa-an Allah serta pengakuan bahwa Dia-lah pencipta alam semesta ini. Perhatikan firman Allah dalam Surat Al An’aam 79:

“Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan  Tuhan”

Dalil ke empat adalah mengenai keteraturan sebagai kerangka penciptaan alam semesta seperti firman Allah dalam Surat Al An’aam, dengan arti sebagai berikut, “Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi, dan mengadakan gelap dan terang..”

Adapun dalil ke lima dapat ditemukan dalam Surat Hud 7 yang menjelaskan maksud dari penciptaan alam semesta, “Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa,….Dia menguji siapakah diantara kamu yang lebih baik amalnya.”

Itulah salah satu tujuan penciptaan lingkungan hidup yaitu agar manusia dapat berusaha dan beramal sehingga tampak diantara mereka siapa yang taat dan patuh kepada Allah.

Dalil ke enam adalah kewajiban bagi manusia untuk selalu tunduk kepada Allah sebagai maha pemelihara alam semesta ini. Perintah ini jelas tertulis dalam Surat Al An’aam 102 yaitu, “..Dialah Allah Tuhan kamu; tidak ada Tuhan selain Dia; Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia; dan Dia adalah pemelihara segala sesuatu”

Dalil ke tujuh adalah penjabaran lanjut dari dalil kedua yang mewajibkan manusia untuk melestarikan lingkungan hidup. Adapun rujukan dari dalil ini adalah Surat Al A’raaf 56 diterjemahkan sebagai berikut; “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepadaNya……..” Selanjutnya dalil ke delapan mengurai tugas lebih rinci untuk manusia, yaitu menjaga keseimbangan lingkungan hidup, seperti yang difirmankanNya dalam surat Al Hijr 19, ”Dan kami telah  menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran.”

Dalil ke sembilan menunjukkan bahwa proses perubahan diciptakan untuk memelihara keberlanjutan (sustainability) bumi. Proses ini dikenal dalam literatur barat sebagai: siklus Hidrologi.

Dalil ini bersumber dari beberapa firman Allah seperti Surat Ar Ruum 48, Surat An Nuur 43, Surat Al A’raaf 57, Surat An Nabaa’ 14-16, Surat Al Waaqi’ah 68-70, dan beberapa Surat/Ayat lainnya. Penjelasan mengenai siklus hidrologi dalam berbagai firman Allah merupakan pertanda bahwa manusia wajib mempelajarinya. Perhatikan isi Surat Ar Ruum: 48 dengan uraian siklus hidrologi berikut ini. Hujan seharusnya membawa kegembiraaan karena menyuburkan tanah dan merupakan sumber kehidupan.
Surat Ar Ruum 48  Siklus hidrologi

Mencakup proses evaporasi (penguapan), kondensasi (pemadatan), hujan, dan aliran air ke sungai, danau atau laut, Al-Qur’an dengan sangat jelas menjabarkannya. Evaporasi, adalah naiknya uap air ke udara. Molekul air tersebut kemudian mengalami pendinginan yang disebut dengan kondensasi. Kemudian terjadi peningkatan suhu udara, yang menciptakan hujan. Air hujan tersebut menyuburkan bumi dan kemudian kembali ke badan air (sungai, danau atau laut). Ini dengan jelas digambarkan dalam Al-Qur’an surat ar-Ruum:48 yang berbunyi;

“Allah, Dialah yang mengirim angin, lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit menurut yang dikehendakiNya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal; lalu kamu lihat hujan keluar dari celah-celahnya, maka apabila hujan itu turun mengenai hambahamba-Nya yang dikehendakinya, tiba-tiba mereka menjadi gembira.”

Sebagai khalifah, sudah tentu manusia harus bersih jasmani dan rohaninya. Inilah inti dari dalil ke sepuluh bahwa kebersihan jasmani merupakan bagian integral dari kebersihan rohani.

Merujuk pada Surat Al-Baqarah 222; “Sesungguhnya Allah senang kepada orang yang bertobat, dan senang kepada orang yang membersihkan diri.” Serta Surat Al-Muddatstsir 4-5;  “..dan bersihkan pakaianmu serta tinggalkan segala perbuatan dosa.”

Meski slogan yang dikenal umum seperti “kebersihan adalah sebagian dari iman”, banyak diakui sebagai hadis dhaif, namun demikian, Rasulluah S.A.W. bersabda bahwa iman terdiri dari 70 tingkatan: yang tertinggi adalah pernyataan “tiada tuhan selain Allah” dan yang terendah adalah menjaga kerbersihan.

Jadi, memelihara lingkungan hidup adalah menjadi bagian integral dari tingkat keimanan seseorang. Khususnya beragama Islam.

Mengutip disertasi Abdillah (2001), Surat Luqman ayat 20 Allah berfirman, “Tidakkah kau cermati bahwa Allah telah menjadikan sumber daya alam dan lingkungan sebagai daya dukung lingkungan bagi kehidupanmu secara optimum. Entah demikian, masih saja ada sebagian manusia yang mempertanyakan kekuasaan Allah secara sembrono. Yakni mempertanyakan tanpa alasan ilmiah, landasan etik dan referensi memadai.”

Selain itu, Abdillah juga mengutip bahwa manusia harus mempunyai ketajaman nalar, sebagai prasyarat untuk mampu memelihara lingkungan hidup. Hal ini bisa dilihat Surat Al Jaatsiyah 13 sebagai berikut; “Dan Allah telah menjadikan sumber daya alam dan lingkungan sebagai daya dukung lingkungan bagi kehidupan manusia. Yang demikian hanya ditangkap oleh orang-orang yang memiliki daya nalar memadai.”

Dalil-dalil di atas adalah pondasi dari teori pengelolaan lingkungan hidup yang dikenal dengan nama “Teorema Alim” yang dirumuskan sebagai berikut: Misi manusia sebagai khalifah di muka bumi adalah memelihara lingkungan hidup, dilandasi dengan visi bahwa manusia harus lebih mendekatkan diri pada Allah.

Perangkat utama dari misi ini adalah kelembagaan, penelitian, dan keahlian. Adapun tolok ukur pencapaian misi ini adalah mutu lingkungan. Berdasarkan “Teorema Alim” ini, kerusakan lingkungan adalah cerminan dari turunnya kadar keimanan manusia.

Rasulullah S.A.W. dan para sahabat telah memberikan teladan pengelolaan lingkungan hidup yang mengacu kepada tauhid dan keimanan. Seperti yang dilaporkan Sir Thomas Arnold (1931) bahwa Islam mengutamakan kebersihan sebagai standar lingkungan hidup. Standar inilah yang mempengaruhi pembangunan kota Cordoba. Menjadikan kota ini memiliki tingkat peradaban tertinggi di Eropa pada masa itu. Kota dengan 70 perpustakaan yang berisi ratusan ribu koleksi buku, 900 tempat pemandian umum, serta pusatnya segala macam profesi tercanggih pada masa itu. Kebersihan dan keindahan kota tersebut menjadi standar pembangunan kota lain di Eropa.

Contoh lain adalah inovasi rumah sakit dan manajemennya (Arnold, 1931). Pada masa itu manajemen rumah sakit sudah sedemikian canggihnya sebagai pusat perawatan dan juga pusat pendidikan calon-calon dokter. Rumah sakit tersebut sudah memiliki ahli bedah, ahli mata, dokter umum, perawat, dan administrator. Tercatat 34 rumah sakit yang tersebar dari Persia ke Maroko serta dari Siria Utara sampai ke Mesir. Rumah sakit pertama yang berdiri di Kairo pada tahun 872 Masehi, bahkan beroperasi selama 700 tahun kemudian

Inovasi bidang kesehatan ini bahkan berkembang sampai pada penemuan ambulan atau menurut Arnold (1931) sebagai “traveling hospital