Monthly Archives: Juni 2010

PERAN MORAL DI DUNIA EKONOMI


Diantara sisi-sisi positif yang dimiliki sistem ekonomi konvensional, ada celah negatif yang dimarginalkan oleh para pelaku ekonomi. Munculnya ketimpangan-ketimpangan dalam kehidupan masyarakat merupakan akibat dari terabaikannya aspek moralitas pada setiap kegiatan ekonomi.

Dari sini moralitas memegang peranan penting dalam rangka mewujudkan kesejahteraan, keadilan dan pembangunan manusia seutuhnya.

Dalam mempertahankan hidupnya manusia diberi kebebasan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.  Kebebasan merupakan unsur dasar dalam mengatur dirinya dalam memenuhi kebutuhan yang ada. Segala upaya akan dilakukan untuk sekedar mampu memenuhi segala kebutuhan hidup dan sebisa mungkin menarik keuntungan yang sebesar-besarnya dari sedikit usaha yang dilakukan. Jika tidak dibatasi, kebebasan ini akan membawa manusia kedalam pola hidup yang transaksional terhadap sesamanya. Karena, kebaikan yang dilakukan seorang penjual terhadap pembelinya, demikian pula sebaliknya, seorang pembeli akan bersikap manis kepada penjual bukan karena unsur kemanusiaan untuk dapat saling membantu antara satu dengan yang lain, melainkan semata-mata faktor konsistensi usaha penjual tergantung dari konsistensi pembeli untuk memenuhi usaha penjualan. Hal ini dilakukan sebagai langkah untuk memaksimalkan keuntungan dan meminimalisir segala bentuk kerugian. Takaran untung-rugi semacam ini akan menjadikan perilaku mekanistik, segala sesuatu diatur oleh pola produksi yang berlangsung, sehingga nilai-nilai kemanusiaan tereduksi oleh dominasi nilai materi.[1] Bila keadaan ini mulai menggejala, maka ukuran-ukuran ketentraman, kesejahteraan dan kebahagiaan secara umum didasarkan atas definisi ukuran produksi, bukan didasarkan pada pemenuhan unsur-unsur kemanusiaan.

Islam sangat menggantungkan kepentingan bangunan ekonomi pada sisi kemanusiaan. Kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi perindustrian dan peningkatan nilai-nilai produksi tidak akan berarti apa-apa, bahkan mungkin akan menjadi “mesin penghancur” tatanan kehidupan masyarakat, jika tidak diimbangi dengan peningkatan mutu dan kwalitas manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan etika yang Islami. Oleh karenanya, tak jarang Islam melarang praktek-praktek tertentu yang sepintas nampaknya membawa manfaat dan keuntungan, namun hakikatnya tersimpan beragam resiko yang merugikan, bahkan sampai mengancam keutuhan akidah yang dipegangnya.

Jika orang-orang kapitalis demi mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dapat menggunakan segala cara asal dapat mencapai tujuannya,[2] seorang muslim akan senantiasa terikat oleh berbagai aturan main dan batas-batas moral serta etika yang di gariskan syariat.

MENGAPA ISLAM MENGKOMBINASIKAN EKONOMI DAN MORALITAS

Satu hal yang mendasari mengapa Islam selalu mengaitkan pentingnya peran moral dan etika dalam setiap aktivitas hidup manusia, termasuk kegiatan-kegiatan ekonomi, yaitu Islam adalah Risalah Akhlaqiyah.[3] Dalam Islam, etika, moral, akhlak adalah inti dalam segala hal. Itulah sebabnya misi utama risalah Islamiyyah yang dibawa Rasulullah Sallawallahu Alihi Wa sallam adalah menyempurnakan akhlak yang mulia انما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق  .

Akhlak adalah hal yang sangat urgen dalam kehidupan seorang muslim. Oleh karena itu tak ada celah dalam tiap sendi kehidupan manusia, dalam tataran personal maupun komunal, individu ataupun sosial demikian juga pada aspek ibadah maupun mu’amalah yang terlepas dari kendali akhlak.

Banyak diantara para pengkaji yang telah dengan jujur mengakui dan memuji keistimewaan ini. Seorang penulis Perancis misalnya, dalam bukunya yang telah dialih bahasakan oleh Dr. Nabil Ath Thowil menyatakan:

Islam adalah perpaduan sistem hidup yang implementatif dan nilai moral yang saling terkait erat dan tidak akan pernah terpisah selamanya.[4]

Dalam bidang ekonomi, moralitas ini akan mampu memberi makna baru pada pemahaman sebuah nilai dan memenuhi kekosongan pemikiran yang muncul dari konsekuensi mekanisme industri.[5]

Antara nilai moral dan segala bentuk kegiatan ekonomi tidak akan mengakibatkan benturan-benturan yang dapat melemahkan satu dengan yang lain. Justru karena Islam menjadikan hal-hal yang bersifat material dan spiritual, immanen dan transenden dalam tataran yang sama, akan terpenuhi segala kebutuhan dan hajat hidup manusia sebagai individu dan sebagai bagian dari masyarakat luas. Manusia akan menemukan fitrah kemanusiaannya apabila ia telah mampu memenuhi kebutuhan lahir dan batin bagi dirinya, keluarga dan memanusiakan manausia dalam komunitas sosialnya.

Pengalaman kapitalis telah membuktikan, sistem yang selama ini begitu diagung-agungkan, dan menjadi kiblat berbagai negara di dunia, ternyata tidak mampu memberi ketentraman dan kesejahteraan bagi tiap individu dan masyarakat lewat konsep ekonomi yang ditawarkan. Pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang. Sementara di sekeliling mereka masih banyak yang harus rela menerima “kekalahan” terhimpit beban hidup tanpa peluang untuk membebaskannya. Keberadaan mereka tidak lagi mendapat tempat di hati masyarakat kapitalis yang materialistis. Kebebasan yang merupakan prinsip dasar kehidupan manusia telah di monopoli oleh mereka yang kuat sementara yang lemah tak pernah bisa mengerti apalagi merasakan arti sebuah kebebasan.

PERAN MORAL DALAM BIDANG EKONOMI

Harta dan kekayaan merupakan unsur penting yang turut menunjang lahirnya kekuatan besar suatu kelompok masyarakat, komponen utama bagi kebangkitan dan kemajuannya.

Dengan kekayaan alam yang dimiliki dan ditunjang sumber daya manusia yang memadai, suatu kelompok sosial, masyarakat atau negara, akan berkembang dengan pesat, tumbuh dalam dirinya suatu kepercayaan diri yang mantap dan dalam kiprahnya di dunia internasional ia akan mendapatkan posisi yang terhormat.

Di sisi lain harta kekayaan akan menjadi ancaman yang serius bagi kehidupan moral maupun spiritual tiap-tiap individu dan masyarakat apabila hal itu menjadi prioritas utama tujuan hidup sehingga segala cara ditempuh untuk meraih keuntungan dan berlomba-lomba saling menumpuk kekayaan tanpa peduli dengan keadaan di sekitarnya.

Islam tidak menafikan profit oriented suatu usaha. Akan tetapi tetap harus memperhatikan aturan main dan tata nilai normatif dalam menggeluti suatu bidang usaha. Bagaimana seseorang bisa berperan aktif dalam program peningkatan kesejahteraan umum dan menorehkan citra yang baik bagi kelangsungan hidup manusia lebih diutamakan dari pada sekedar keuntungan yang bersifat materi.

Dengan dasar keyakinan yang kuat bahwa rizki adalah amanah dan keberhasilan suatu usaha datangnya dari Allah dan kelak   pada akhirnya akan diminta pertanggungjawaban di hadapanNya, seseorang akan mempertimbangkan baik buruknya suatu hasil usaha bagi kehidupan diri sendiri, keluarga dan masyarakatnya. Menghindari jenis-jenis usaha yang dapat merusak fisik, mental dan spiritual.

Islam memandang aspek ekonomi dan semua kegiatan yang turut menunjang perkembangan dan kemajuannya sebagai suatu kebutuhan manusia itu sendiri, sebuah sarana bagaimana seseorang tetap dapat mempertahankan hidup, beramal demi tujuan yang utama, mewujudkan pengabdian kepada agama dan keyakinan yang dipegang teguhnya. Pendeknya, ekonomi bukanlah substansi melainkan hanya watsilah lil gyoyah. Harta adalah rizki yang dianugerahkan Allah kepada manusia. Karenanya, dalam proses mendapatkan kemudian membelanjakannya harus tetap sesuai dengan garis-garis ketentuan Allah, Dzat yang memiliki segalanya.

Kalau mungkin sistem-sistem lain begitu mengutamakan pembangunan ekonomi, peningkatan produksi dan daya beli masyarakat yang berkonsekuensi pada munculnya kompetisi-kompetisi liar tanpa mempedulikan batas-batas norma kemanusiaan dan keadilan, Islam lebih menekankan pada pembangunan keimanan dan moralitas para pelaku ekonomi.

Andaikata dalam dunia ekonomi moralitas dianggap sebuah penghalang dalam meraih keuntungan yang sebesar-besarnya dan merupakan hambatan yang harus disingkirkan bagi kemajuan dan perkembangannya, ini berarti sama halnya dengan mengkondisikan dunia dan manusia pada keadaan dimana hati nurani dan perasaan telah dibekukan sedemikian rupa sehingga yang kuat menggilas yang lemah dan yang kecil menjadi mangsa bagi mereka yang besar. Manusia akan semakin menjauh dari fitrahnya. Kehidupan akan diselimuti persaingan-persaingan membabi buta, saling menghancurkan satu sama lain berlomba-lomba untuk menjadi yang terkuat.

Disinilah moralitas, akhlak dan etika memegang peranan penting agar manusia tetap pada eksistensinya sebagai manusia. Dimana satu dengan yang lain dapat saling mengisi dan melengkapi. Yang kuat memandang yang lemah sebagai pihak yang membutuhkan uluran tangan untuk tetap dapat menikmati kehidupannya, dan yang lemahpun melihat yang kuat sebagi pihak yang dapat mengayomi dan melindungi. Antara penjual dan pembeli terjalin suatu kemitraan yang saling menguntungkan, bukan sekedar prinsip kebutuhan temporal.

ETIKA BISNIS

Terciptnya kesejahteraan masyarakat dengan terpenuhinya semua kebutuhan hidup bagi tiap-tiap individu sangat di pengaruhi oleh meknisme pasar dimana antara permintaan dan penawaran berada pada titik yang seimbang. Dalam hal ini dibutuhkan keterlibatan semua pihak, produsen dan konsumen, penjual dan pembeli dan termasuk juga pemerintah yang dengan otoritasnya mampu menyamakan persepsi tentang keberadaan harga dan stabilitas pasar.

Ketidakstabilan harga sebab perilaku nakal para pelaku pasar yang merusak mekanismenya, misalnya dengan praktek spekulasi, manipulasi, penimbunan, pembajakan, pasar gelap dan sejenisnya akan berdampak pada ketidak-nyamanan produsen dalam berproduksi, penjual terancam kerugian dan konsumen akan kesulitan mendapat kepuasan atas barang yang dikonsumsinya.

Disini peran serta dan tanggung jawab masing-masing pihak sangat menentukan. Artinya produsen, konsumen, penjual dan pembeli berada pada posisi dimana yang satu tidak merugikan yang lain. Sedapat mungkin saling membantu, tolong menolong dalam mengemban amanah social yang berada di pundak mereka. Singkatnya keterikatan masing-masing pihak terhadap norma dan etika bisnis yang sesuai dengan ketentuan syariat menjadi faktor utama terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Beberapa prinsip utama dalam kaitannya dengan etika bisnis ini antara lain:

  1. 1. LARANGAN BISNIS PADA MUHARRAMAT

Pertama kali yang harus senantiasa diperhatikan oleh setiap pebisnis adalah apakah bidang yang di gelutinya sudah mendapat legitimasi kehalalan dari syara’? Dalam arti usaha tersebut bebas dari muharramat dan I’anah alal ma’shiyat. Karena betapapun visibilitas suatu usaha sangat menjanjikan dilihat dari kaca mata bisnis, akan tetapi dalam perspektif syari’at terdapat penilaian lain terhadap kelayakan suatu usaha. Mengapa? Semua kembali pada persoalan awal yaitu keterikatan setiap pribadi muslim dengan nilai moral, etika dan segala macam norma yang mengidentifikasikan pebisnis muslim dan “non-muslim” dalam kapasitasnya sebagai seorang hamba dari Khaliqnya dan tanggung jawab social terhadap sesamanya. Tanggung jawab ini terpresentasikan dalam pesan syari’at لا ضرر ولا ضرار.

Suatu usaha dinilai tidak layak jika ia berseberangan dengan garis ketentuan syara’ yang mana di dalamnya terkandung begitu banyak hikmah dan manfaat bagi kemaslahatan hidup manusia. Ketidak layakan itu bisa terjadi karena memang nash mengatakannya haram, semisal bisnis minuman keras, obat-obatan terlarang, perjudian dan lain sebagainya, atau bisa saja karena ada unsure I’anah alal ma’shiyat yang berpotensi besar menimbulkan kerusakan bagi kehidupan masyarakat, seperti industri hiburan yang membuka peluang ajang kemaksiatan atau usaha yang bergerak pada bidang informasi dan mass media yang di sinyalir paling efektif membawa perubahan gaya hidup dan pemikiran masyarakat yang sedang bergerak ke arah perubahan.

  1. KEJUJURAN dan KEPERCAYAAN

Dalam sebuah Hadits di sebutkan:

التاجر الصدوق الأمين مع النبيين والصديقين والشهداء , رواه الترمذى

Pedagang yang jujur terpercaya (nanti akan berkumpul) bersama para Nabi, Shiddiqin dan para pahlawan syahid” (HR. Tirmidzi)

Pertanyaannya mengapa harus pedagang (businesmen)? Kenapa bukan dokter, teknokrat, menteri, ulama, kyai atau yang lain?  Karena menjadi sosok pebisnis yang jujur adalah sebuah pertaruhan. Sebesar apa keuntungan yang akan di dapat akan banyak dipengaruhi oleh bagaimana ia memaksimalisasi laba dengan modal yang seminim mungkin dan hal ini akan memicu seseorang untuk berbuat tidak fair dalam permainan bisnisnya. Disana terbuka peluang lebar melakukan segala macam manipulasi mengingat posisinya yang bebas dari intervensi dan kontrol social.

Seorang pebisnis yang jujut hanya bisa terbentuk dari dalam pribadi yang peka terhadap pesan-pesan agama dan senantiasa melandasi gerak aktivitasnya dengan iman dan kepercayaan penuh kepada Dzat sang pengatur segalanya.

Bagaimanpun bisnis adalah lahan yang rentan terhadap penipuan dan kebohongan. Bahkan tak segan-segan seseorang harus bersumpah atas nama Allah untuk tujuan meraih keuntungan yang tidak seberapa. Jika hal ini dilakukan maka akibatnya akan merugikan dirinya sendiri dan juga orang lain.

Kerugian bagi dirinya sendiri adalah karena secara tidak langsung ia telah “mengkomersilkan” asma Allah yang suci demi kepentingan duniawi lewat kebohongan dan sumpah palsunya yang dapat mengancam keselamatan dirinya di akhirat kelak. Untuk kebenaran saja syara’ sangat menekankan agar berhati-hati dan tidak sembrono dalam menggunakan sumpah, apalagi untuk kebohongan dan penipuan.

Sementara itu kerugian bagi pihak lain akibat ulah yang dilakukannya tersebut sudah sangat jelas yaitu perasaan kecewa dan ketidak-puasan atas barang yang di terima sebab tidak sesuai dengan harapan dan permintaan. Lebih fatal lagi, pebisnis semacam ini tidak akan lagi mendapt kepercayaan publik yang berimbas pada suramnya prospek kedepan untuk jangka waktu yang tidak terbatas.

Selanjutnya yang terkait erat dengan prinsip kejujuran ini adalah bagaimana seorang pebisnis tetap dapat mempertahankan kepercayaan yang di berikan kepadanya. Sedikit saja dia menyalah gunakan kepercayaan itu akan berkonsekuensi hilangnya peluang untuk masa yang akan datang atau membuat kekaburan prospek ke depan.

Dari kedua prinsip etika tersebut (kejujuran dan kepercayaan) bisa menelorkan beberapa nilai yang lebih terperinci. Seperti mengutamakan kepentingan dan kebaikan orang lain, tidak bersikap curang, menghindari praktek spekulasi, penimbunan dan lain sebagainya.

  1. KEADILAN dan KEKELUARGAAN

Termasuk prinsip utama dunia bisnis yang telah ditetapkan Islam adalah bagaimana terbentuk sebuah interaksi yang bersifat kekeluargaan dan penuh keadilan. Sebagaimana dimaklumi Islam adalah agama anti kesewenang-wenangan dan kedhaliman. Pada aspek ekonomi dan kegiatan bisnis pada khususnya, keadilan ini dimaksudkan agar masing-masing pihak mendapatkan hak-haknya secara penuh. Seorang pebisnis harus mempunyai kontrol yang tinggi agar tidak terjebak dalam perilaku tabassuth kullal basthi hingga akhirnya hanya kerugian yang didapatkan. Karena pada dasarnya yang dikehendaki dari prinsip Al Ihsan, Al Samahah dan Al Rahmah dalam Islam adalah bagaimana kita membudayakan sikap altruism dalam tiap sendi kehidupan tanpa harus mengorbankan kemaslahatan diri sendiri.

Prinsip ini mengindikasikan bahwa seorang pebisnis tidak akan melepas suatu komoditi ke pasaran dengan harga yang tidak sepadan atau mungkin bahkan jauh di bawah besar biaya yang ia keluarkan. Karena dengan demikian ia telah mengorbankan diri sendiri untuk tujuan yang tidak pasti dan yang jelas ia akan menderita kerugian akibat deficit terhadap pendapatannya.

Dan sebaliknya, sebagai balance-nya, dia juga tidak akan mematok harga terlampau tinggi di atas harga pasar agar mendapat keuntungan yang berlipat ganda meskipun pada kondisi di mana konsumen sangat membutuhkan sementara stok barang terbatas atau mungkin hanya factor tuntutan selera sehingga berapapun harga ditawarkan akan di terima tanpa keberatan.[6]

Disisi lain prinsip keadilan ini mencakup beberapa hal yang sangat urgen yang justru kerapkali diabaikan oleh para pelaku pasar. Diantaranya adalah:

–          keadilan dalam kesempurnaan takaran /timbangan[7]dan transparansi kwalitas barang.[8]

–          Keadilan dalam memenuhi tanggungan (pembayaran hutang).[9]

–          Keadilan dalam stabilisasi harga.[10]

Apabila prinsip keadilan ini berhasil di wujudkan, akan menimbulkan reaksi positif dari berbagai pihak sehingga tercipta interaksi pasar yang terbingkai rasa persaudaraan dan kekeluargaan di mana yang besar membantu yang kacil dan yang kuat menaungi yang lemah. Pada konteks ini syara’ telah dengan tegas mengharamkan praktek talaqi al rukban[11] dan najsy,[12] karena di dalamnya terkandung tindak kedhaliman serta jauh dari sikap rahmah dan samahah yang menjadi identitas dan karakteristik Al Risalah Al Muhammadiyyah.

MODAL SUKSES

Suksesi terbesar seorang pebisnis tidak sekedar didasarkan pada perolehan keuntungan yang didapat atau perkembangan dan kemajuan usahanya. Peningkatan laba usaha dari tahun ke tahun bisa dikatakan hanya kesuksesan semu dan sementara. Karena dengan berakhirnya kehidupan di dunia berarti berakhir pula karir yang telah dirintis sekian waktu dengan segala upaya dan kerja kerasnya. Dengan begitu, hilang juga kesempatan untuk menikmati keberhasilan usaha dan buah kesuksesannya.

Suksesi terbesar bagi seorang pebisnis, yang bisa dikatakan, ia telah berada di puncak karir adalah manakala ia telah mampu meraih keuntungan yang bersifat abadiyyah,  keuntungan nikmat akhirat yang jelas lebih baik dari pada keuntungan material di dunia.

Keuntungan abadi ini bisa di peroleh apabila program usaha sesuai dengan mekanisme syariat,[13] yaitu:

  1. Meluruskan Niat

Dalam berbisnis hendaknya berniat mencukupi kebutuhan hidup bagi diri sendir dan keluarga sehingga terhindar dari meminta-minta, mencegah perasaan tamak atas nikmat orang lain dan merasa cukup dengan hasil jerih payah sendiri, niat membantu tetap tegaknya agama dan berbuat kebajikan kepada sesama manusia.

  1. Bertujuan Menunaikan Fardlu Kifayah

Variasi usaha sangat di butuhkan agar kebutuhan hidup manusia dapat tercukupi. Seandainya semua orang di dunia ini hanya menggeluti satu bidang usaha tertentu, maka roda perekonomian akan “mandek”, yang akibatnya akan membawa kehancuran dunia sebagai akibat tidak terpenuhinya kebutuhan hidup manusia.

Karena itu mencari terobosan baru dalam dunia usaha yang hasilnya dapat membawa manfaat bagi masyarakat luas adalah sebuah fardlu kifayah.

  1. Memprioritaskan “Pasar Akhirat”

Pasar akhirat adalah masjid. Artinya kegiatan bisnis yang di lakukan sehari-hari jangan samapai membuat lupa akan kewajiban beribadah dan senantiasa mengingat Allah.[14]

Mengingat Allah tidak hanya sebatas mengingat nama dan kebesanNya. Lebih dari itu yang lebih penting adalah selalu menyadari bahwa Allah senantiasa mengawasi segala gerak dan aktivitas manusia. Dengan demikian seorang pebisnis tidak akan melanggar keharaman dan melampaui batas-batas ketentuan syariatNya.

  1. Qona’ah

Dalam sebuah riwayat Abdullah Ibn ‘Amr Ibn ‘Ash berkata: “janganlah engkau menjadi orang pertama yang memasuki pasar dan orang terakhir yang keluar darinya…….”.[15]

Riwayat ini memberi pengertian bahwa seseorang tidak boleh terlampau berambisi untuk mencari kekayaan sehingga keuntungan yang besar menjadi obsesi utama tujuan hidup sementara urusan akhirat nyaris terlupakan karena kesibukan bisnisnya, yang di gambarkan dengan “kedisiplinan” di pasar sebagai pusat transaksi.

Dengan memelihara sifat qana’ah dia akan selalu merasa bersyukur atas hasil yang di dapatkan. Meskipun suatu ketika ia menderita kerugian di dunia karena factor-faktor tertentu yang menghambat kegiatan bisnisnya namun jelas dia akan mendapat keuntungan sebenar-benar keuntungan di akhirat kelak.

  1. Mewaspadai Syubuhat

Dalam beberapa prinsip etika sebagaimana  di singgung di atas, yang utama adalah bahwa bidang usaha yang digeluti benar-benar jauh dari muharramat. Lebih dari itu, waspada terhadap syubuhat yang seringkali terbungkus oleh klaim “syar’i”   menjadi hal yang sangat perlu di perhatikan. Meski ditengah kesimpang-siuran fatwa berbagai lembaga kajian hokum-hukum Islam, seorang pebisnis yang konsis memegang syari’at tidak akan mudah terpancing dengan munculnya kamuflase-kamuflase yang di buat orang-orang yang tidak menginginkan Islam tetap pada garis yang semestinya. Dengan menjungkir-balikkan fakta dan mereinterpresi dalil sesuai keinginan mereka (musuh-musuh Islam), umat Islam “dipaksa” untuk menerima hasil reinterpretasi tersebut dan menjustifikasi keabsahaannya sebagai landasan muamalah yang dengan berbagai upaya berusaha menampilkan wajah kebenaran yang hakiki.

Di samping itu yang masuk dalam kategori syubuhat di sini adalah peran yang dimainkan seorang pebisnis dibalik ikatan kerjasama atau perserikatan dengan pihak-pihak yang tidak jelas misi dan mekanisme kerjanya. Harus ada garis demarkasi yang jelas antara pihak yang bisa untuk kerjasama dan pihak-pihak yang semestinya di kesampingkan.


[1] Abul A’la  Al maududi, Usulul Iqtishad bainal-Islam wan Nudhum Al Mu’ashirah, Darul Urubah, Lahore.

[2] Dalam sistem kapitalis, karena faktor kebebasan dan supaya seseorang tidak tersingkir dari pasar, orang akan didorong untuk berpikir oportunis dan materialistis dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan ekonomi sehingga tidak peduli apakah usahanya sesuai dengan moral atau tidak. Lihat, Heri sudarsono, Konsep Ekonomi Islam Sebuah Pengantar. Ekonisia-Yogyakarta (2002).

[3] Dr. Yusuf Al Qordlowi, Daurul Qiyam wa Al Akhlaq fi Al Iqtishad Al Islami, Hal. 61, Maktabah Wahbah-Kairo (1995).

[4] Dr. Nabil Ath Thowil, Al Islam wat Tanmiyah Al Iqtishadiyyah

[5] Dr. Yusuf Al Qordlowi (1995). Op Cit.

[6] . Al Ghozali, Ihya’ Ulumuddin kitabAl Kasbu wal Ma’asy

[7] . QS. Al ‘An Aam: 152, A Isro’: 35

[8] . QS. Hud: 85

[9] . لي الواجد يحل عرضه وعقوبته, رواه الجماعة

[10] . Apabila pasar dalam keadaan kondusif, tidak ada pihak yang boleh mengintervensi masalah harga. Sebagaimana diriwayatkan dalam hadits bahwa Rasulullah enggan memenuhi permintaan beberapa sahabat yang menuntut standararisasi harga pasar.

[11] . Talaqi Al Rukban adalah istilah yang digunakan para fukaha untuk praktek perdagangan dengan memapak orang-orang desa yang ingin menjual barang dagangan ke kota sebelum mereka sampai di kota/pasar dengan tujuan mengelabui mereka akan harga pasar sehingga mereka bersedia menjual dengan harga di bawah harga pasar. Istilah ini di gunakan dengan dasar Hadits “ لا تتلقوا الركبان………(الجديث) متفق عليه “

[12] . Najy (Banjet-jawa) adalah tindakan pihak ketiga, di hadapan penjual dan pembeli, untuk mempengaruhi seorang pembeli agar menaikkan tawarannya dengan cara berpura-pura menawar harga di atas penawaran pembeli.

[13] . Yusuf Al Qardlawi, Daurul Qiyam (Op Cit) Hal. 304-314.

[14] . sebagaimana pesan Al Qur’an dalam surah Al Nuur: 37

[15] . An Nawawi, Riyadlush Shalihin, Hadits ke 1842.

Maslahah dalam Islam


OLEH: Muhammadun Aslam

Takaran maslahah tidak didasarkan pada penilaian akal manusia yang bersifat relatif-subyektif dan dibatasi ruang dan waktu tetapi harus sesuai petunjuk syara’ yang mencakup kepentingan dunia dan akherat. Serta tidak terbatas pada rasa enak atau tidak enak dalam artian fisik tetapi juga dalam artian mental-spiritual.

Dewasa ini umat Islam sedang mengalami invasi (serangan) dari segala penjuru. Dari fitnah politik, issu terorisme, sampai serangan yang bersifat intelektual. Semuanya tersusun secara rapi dan sistematis, sehingga umat Islam tidak begitu merasakan adanya serangan ini. Berbagai alasan digunakan untuk menutup-nutupi berbagai aksi semacam ini, dari mulai stabilitas ekonomi, kemanan global, bantuan kemanusiaan, pembelaan kaum lemah dan lain sebagainya.

Dan yang paling berbahaya dan harus diwaspadai oleh umat Islam adalah gerakan pemurtadan besar-besaran melalui pendangkalan akidah dan pengkaburan ajaran-ajaran agama yang semakin hari semakin gencar dihembuskan oleh mereka. Sebab, untuk meloloskan skenario ini mereka dibantu oleh agen-agen mereka yang nota bene adalah putera-puteri Islam, yang dengan sadar atau tidak sadar mereka masuk di dalamnya. Dalam melakukan aksi  ini mereka menggunakan teori vaksinasi (menyuntikkan bibit penyakit yang sama kedalam tubuh). Yaitu untuk mendangkalkan akidah umat Islam mereka menggunakan ajaran-ajaran agama pula.

Dengan alasan reaktualisasi dan reinterpretasi mereka mengaburkan ajaran-ajaran syariat yang sebenarnya sudah jelas dan  tidak perlu diperdebatkan. Ajaran-ajaran yang sudah final,  dikaji kembali oleh mereka yang mengaku sebagai pembaharu Islam, dengan alasan bahwa ajaran tersebut sudah tidak relevan dan tidak sesuai dengan semangat ajaran Islam yang bertujuan menjaga lima prinsip pokok atau yang lebih dikenal dengan istilah maqhosid al syariyyah (menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta). Karena pada dasarnya, syariat diberlakukan untuk menjaga kemaslahatan umat manusia. Intinya menurut mereka semua syariat yang tidak menjamin kemaslahatan umat manusia harus dirubah.

Risalah singkat ini mencoba menjlentrehkan sedikit tentang seputar maslahah dan batasan-batasannya. Untuk menambah khazanah keilmuan ditanah air kita dan dijadikan lentera dalam kehidupan sehari-hari.

I. Definisi Maslahah

Secara bahasa, maslahah adalah bentuk masdar dari madli sholaha dan bentuk tunggal dari jama’ masholeh yang artinya sama dengan manfaat. Oleh karenanya, segala sesuatu yang mempunyai nilai manfaat bisa disebut maslahah.

Maslahah menurut istilah ulama bisa didefinisikan sebagai berikut :

  • Manfaat yang ditujukan kepada umat manusia oleh syari’ untuk menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta sesuai ranking.
  • Menurut pengertian al-Rozi, maslahah adalah manfaat yang menghasilkan kenikmatan atau untuk menolak bahaya.

Pengertian ini bertentangan dengan pengertian sebagaian filosof. Menurut mereka, maslahah adalah sebuah manfaat untuk menuju kenikmatan, atau menolak bahaya di dunia semata. Sebab, segala sesuatu di muka bumi ini baik berupa kebajikan atau kejehatan tergantung pada kesepakatan bersama umat manusia. Karena memandang manusia sebagai subjek yang bisa menentukan standar nilai perbuatan mereka (baik/jelek). Epicurus [1] mengatakan: “maslahah itu bersifat relatif dan subjektif, tergantung individu seseorang, tanpa memandang dampak yang ditimbulkan”. Pola pikir seperti ini berpengaruh kuat pada masyarakat Eropa, sehingga melahirkan ide-ide seperti: HAM, persamaan hak, dan lain-lain. Mereka berasumsi bahwa akal manusia tidak perlu lagi sesuatu yang lain (agama) dalam menentukan maslahah.[2]

Yang pasti, pertimbangan maslahah dan mafsadah dikembalikan pada syari’at bukan pada pertimbangan pengalaman atau budaya umat manusia. Sebab, syari’at telah menetapkan maslahah dengan menerapkan lima prinsip pokok di atas. Oleh karena itu setiap yang dianggap maslahah namun bertentangan dengan nash-nash atau dalil qoth’iy, tidak bisa disebut sebagai maslahah atau bahkan berlawanan dengan yang dikehendaki oleh Syari’.

II. Cakupan Maslahah

Maslahah dalam tinjauan syari’at Islam mempunyai beberapa kriteria :

A. Maslahah harus mencakup dan bertumpu pada kepentingan dunia dan akhirat. Karena, kehidupan akhirat ‑sebagaimana risalah para nabi dan rasul‑ merupakan kelanjutan dari pada kehidupan dunia. Oleh karena itu relasi keduanya tidak bisa dipilah-pilah.

وابتغ فيما أتاك الله الدار الآخرة

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Alloh kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat ”. (Q.S. Al-Qashash : 77)

ومن أراد الآخرة وسعى لها سعيها وهو مؤمن فأولئك كان سعيهم مشكورا

Dan barang siapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mu’min, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik ”. (Q.S. Al-Isra’ : 19).

Allah memerintahkan kita untuk menjadikan kehidupan dunia sebagai wasilah (jembatan) untuk menuju kebahagiaan akhirat dengan menerima syari’at secara kaffah (total).

Pengertian seperti ini bertolak belakang dengan pengertian sebagian kaum filosof yang mengartikan maslahah hanya bertumpu pada sebatas kehidupan dunia dengan mengabaikan kehidupan yang kekal (baca: akhirat). Lebih jauh mereka mengatakan “Kehidupan akhirat dipandang absurd dan tidak pernah ada ”.

B. Nilai maslahah tidak hanya terbatas pada sisi material (jasmani) semata, tetapi harus juga mengandung nilai-nilai spiritual (rohani).

Menurut John Stuart Mill [3] semua maslahah hanya kembali pada satu sisi yang disebut dengan ladzah al-hissi (kesenangan materi). Artinya, bisa disebut maslahah ketika kebutuhan jasmani terpenuhi, dan tidak bisa disebut maslahah kalau tidak berupa kesenangan materi.

Pendapat ini mereduksi nilai kemanusiaan. Sebab, fitrah manusia cenderung mengajak terhadap nilai-nilai spiritual yang diimplimentasikan dalam bentuk ibadah sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT.

فأقم وجهك للدين حنيفا فطرة الله التى فطر الناس عليها لا تبديل لخلق الله ذلك الدين القيم ولكن أكثر الناس لا يعلمون

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Alloh); yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Alloh. (itulah agama) yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahkui ”. (Q.S. Al-Ruum : 30)

Juga Hadis qudsi yang di sabdakan Rasulallah SAW:

إنى خلقت عبادى حنفاء كلهم ثم أتتهم الشياطين فاجتلتهم عن دينهم وحرمت عليهم ما أحللت لهم فأمرتهم أن يشركوا بى مالم أنزل به سلطانا

sesunggunya Aku (Allah) telah menjadikan hamba-hamba-Ku lurus semuanya, kemudian datanglah syetan kepadanya, lalu ia (syetan) memalingkan dari agamanya dan ia mengharamkan terhadapnya apa yang Aku halalkan serta ia menyuruhnya untuk menyekutukan-Ku atas apa yang Aku tidak berikan kepadanya suatu kekuasaan “ (HR. Muslim).

C. Maslahah yang ditetapkan syari’at harus menjadi pijakan bagi maslahah lainnya (baca: tidak ditetapkan syari’at).

Semua maslahah harus mengacu pada norma agama yang telah digariskan al-Qur`an dan Hadis. Bukan maslahah ‑yang selama ini dipahami oleh mereka- sebagai hujjah (dalil agama) yang berdiri sendiri dan tidak terikat dengan al-Qur`an dan hadis, dengan menjadikan akal sebagai satu-satunya patokan dalam menilai maslahah. Standarisasi nilai maslahah kepada akal akan membatalkan syari’at sebagaimana ditegaskan oleh Syathibi “Salah besar kalau akal punya otoritas melebihi nash yang berkonsekuensi syari’at boleh dibatalkan oleh akal”.[4] Karena menurutnya, Islam adalah agama yang mengatur segala aspek kehidupan baik berupa tindakan, keyakinan,  dan ucapan umat manusia.

وما أتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا

Apa yang diberikan Rosul padamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah ”. (Q.S. Al-Hasyr : 7)

وأن هذا صراطى مستقيما فاتبعوه

Dan bahwa yang kami perintahkan ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia ”. (Q.S. Al-An’am :153)

Dari kriteria di atas bisa ditarik dua pertanyaan :

Pertama : Apakah cukup maslahah sendiri bisa dijadikan dasar hukum ?

Syari’at Islam merupakan landasan yang berdasarkan nash-nash Al-Qur`an dan hadits, serta apa yang terkandung dari sumber keduanya, yang mengandung maslahah, yang menjadi kesepakatan para ulama. Oleh karena itu keliru kalau membenarkan anggapan bahwa produk hukum hanya mengacu pada kemaslahatan, tetapi harus sesuai dengan nash al-Qur`an, Hadits, qiyas & ijma’. Kecuali ijma’ yang hanya didasarkan pada maslahah yang sifatnya sementara, maka ijma’ seperti ini maslahah bisa dijadikan patokan (sesuai dengan kondisinya). Contohnya seperti tawanan kafir. Dalam hal ini imam (presiden) mempunyai otoritas dalam menentukan kebijakan -apakah dibunuh, dibebaskan, ditarik pajak atau dijadikan tawanan-,. Ketika imam menentukan satu kebijakan berdasarkan pertimbangan demi kemaslahatan, dan disaat yang lain punya kebijakan yang berbeda,  menurut Islam hal itu diangap sah.

Kedua : Bagaimana syara’ menanggapi hukum-hukum yang hanya dilandaskan pada akal, adat-istiadat dan berbagai eksperimen seperti yang disuarakan oleh sementara orang yang mengaku sebagai mujaddid atau bahkan mujtahid ?

Tidak dibenarkan, adat-istiadat, akal, dan berbagai metode eksperimen untuk menentukan maslahah. Seperti hasil eksperimen psikolog, “dengan kebebasan pergaulan dua lain jenis dalam satu komunitas, bisa memperbaiki moral dan bisa meminimalkan kecenderungan seksual”, dan dari eksperimen-eksperimen yang lain, seperti hasil eksperimen dokter “bahwa daging babi tidak mengandung penyakit dan tidak berpengaruh terhadap kesehatan jasmani dan rohani”. Kalau hasil-hasil eksperimen ini dibenarkan, maka secara otomatis syari’at Islam ditetapkan dengan hasil pemikiran dan eksperimen mereka. Penolakan ini, bukan berarti syari’at tidak menghargai sains seseorang. Tetapi maslahah yang hanya hasil eksperimen manusia tidak akan pernah lepas dari faktor pengaruh sosial, budaya dan kultur yang melingkupinya.

Allah berfirman :

فإن لم يستجيبوا لك فاعلم أنما يتبعون  أهوائهم ومن أضل ممن اتبع هواه بغير هدى من الله

Maka jika mereka tidak menjawab (tanganmu), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka) ”. (Q.S. Al-Qashash : 50).

فإن تنازعتم فى شيئ فردوه إلى الله والرسول إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الآخر

Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Alloh (al-Qur`an) dan rosul (Sunnahnya) ”. (Q.S. Al-Nisa’ : 59).

III. Kepedulian Syari’at Terhadap Maslahah

Sebagaimana yang telah dijelaskan, bahwa syari’at Islam menjaga terhadap kemaslahatan umat dan berdiri sebagai dasar pokok untuk memenuhi kebahagiaan yang hakiki, dengan penerapan maqosid asy syar’iyah. Lepas dari mereka yang yang menganggap bahwa maslahah merupakan unsur terpenting dalam penerapan syari’at Islam, tanpa memandang bahwa penerapan syariat sendiri bertujuan untuk pencapaian kemaslahatan. Karena sadar atau tidak sadar, menjadikan kemaslahatan sebagai unsur terpenting akan semakin menjauhkan hubungan manusia dengan syari’atnya dan menjadikan dunia sebagai satu-satunya tolak ukur.

Berikut ini kami kedepankan beberapa dalil yang menunjukkan bahwa syari’at selalu menjaga kemaslahatan.

1. Al-Qur`an.

وما أرسلناك إلا رحمة للعالمين

Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rohmat bagi semesta alam ”. (Q.S. Al-Anbiya’ : 107)

ياأيها الذين أمنوا استجيبوا لله وللرسول إذا دعاكم لما يحييكم

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Alloh dan seruan rosul apabila rosul menyerukan kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu ”. (QS. Al-Anfal : 24)

Dari kedua ayat di atas bisa dijelaskan :

Pertama : Nabi diutus di dunia sebagai rahmat bagi semesta alam dan pembawa risalah Islamiyah, yang di dalamnya mengandung nilai-nilai maslahah untuk kebahagiaan dunia-akhirat bagi umatnya.

Kedua : Kehidupan yang dimaksud dalam ayat di atas adalah kehidupan secara utuh yang menyangkut keselamatan dunia dan akhirat.

2. Al-Hadits :

الإيمان بضع وسبعون شعبة أعلاها شهادة أن لاإله إلا الله وأدناها إماطة الأذى عن الطريق

Iman itu lebih dari tujuh puluh bagian, yang tertinggi yaitu syahadat dan yang paling rendah adalah menghilangkan sesuatu yang dapat membahayakan di jalanan ”. (HR. Sunan Nasa’i, Abu Daud serta Ibn Majah)

Dalam Hadis di atas Rasulullah menggabungkan dua sisi sekaligus dari esensi agama yaitu :

Pertama : Sisi aqidah yang diimplementasikan dengan kalimat syahadat.

Kedua : Sisi kemaslahatan umat manusia, dengan menghilangkan sesuatu yang dapat membahayakan orang lain di jalanan sebagai contoh yang paling sederhana.

Ini sebagai bukti betapa besar dan luas perhatian syari’at tehadap maslahah yang termaktub dalam sendi-sendi agama.

Juga Hadis :

لاضرر ولاضرار

Tidak d perbolehkan melakukan sesuatu yang membahayakan orang lain dan sesuatu yang membahayakan orang lain ” (HR. Ibnu Majah dan Ad Daruquthni)

Hadis ini melarang melakukan sesuatu perkara yang dapat menimbulkan mafsadah pada orang lain maupun pada diri sendiri.. Sehingga di situ maslahah dunia dan akhirat harus benar-benar terwujud dalam tatanan kehidupan umat manusia.

3. Ijma’ ulama.

Manusia diciptakan sebagai makhluk yang mulia. Oleh karena itu  syari’at menghargai kreatifitas, pengetahuan, dan kebudayaan mereka selama tidak mendatangkan mafsadah dan menelantarkan maslahah. Seperti halnya syari’at mengakui kebudayaan orang jahiliyah. Sebagai contoh, disyari’atkannya kufu dalam perkawinan, transaksi bagi hasil (qirodl)  atau sarana-sarana yang lain seperti tata bahasa, puisi yang sudah menjadi bagian dari  kehidupan sehari-hari mereka. Dari dalil di atas bisa disimpulkan bahwa syari’at berdiri sebagai dasar hukum yang selalu menjaga terhadap kemaslahatan umat. Akan tetapi bagaimana menanggapi hadis nabi:

أجرك على قدر نصبك مما قد يدل ظاهره على أن قصد المكلف إلى التشديد على نفسه فى العبادة وسائر التكالف أمر صحيح مثاب عليه

“Pahalamu menurut kesulitanmu, sebagaimana yang ditunjukkan oleh lahirnya, atas dasar bahwa kehendak orang mukallaf dengan kesungguhan dirinya dalam ibadah adalah perkara yang baik dan diberi pahala”.

Yang lebih dikenal dalam qawa’idul fiqh:

ماكان أكثر فعلا كان أكثر فضلا

“Sesuatu yang lebih banyak perbuatannya maka lebih banyak keutamaannya”.

Yang sekilas bisa dipahami ialah, bahwa nilai ibadah diukur dengan sebuah jerih payah seseorang dalam melakukannya. Kalau demikian, berarti titik tekan syari’at dalam memenuhi kemaslahahtan umat telah sia-sia dan penuh kontradiksi. Terlebih kalau jerih payah dijadikan satu-satunya ukuran untuk menilai  dalam melakukan ibadah. Sebelumnya perlu digaris bawahi, bahwa sesuatu dikatakan kontradiksi kalau maslahah menimbulkan mafsadah yang lebih besar atau berada dalam takaran yang sama. Tetapi kalau mafsadah yang ditimbulkan lebih kecil maka tidak bisa dikatakan kontradiksi. Begitu pula jerih payah bisa dikatakan mafsadah ketika tidak menjamin keberadaan manusia.  Tetapi ketika jerih payah mampu mengantarkan nilai-nilai kemanusiaan, maka hal ini tidak bisa dikatakan kontradiksi. Seperti halnya orang yang haus dan tidak menemukan minuman kecuali segelas khamr (minuman keras). Kalau kita menilik satu sisi bahwa khomr diharamkan dengan satu alasan memabukkan, dan di sisi lain kalau ia tidak meminumnya akan menimbulkan mafsadah yang lebih besar, yaitu resiko kematian, maka peran maslahah dalam hal ini penyelamatan akal tidak seimbang dengan mafsadah yang mengakibatkan resiko hilangnya nyawa. Sedangkan syara’ sendiri dalam mengaplikasikan hukum selalu menjaga terhadap kemaslahatan yang lebih penting, sehingga dalam kasus di atas tidak ada bentuk mafsadah yang ditimbulkannya.

Oleh karenanya syara’ memberikan kelonggaran dengan memperbolehkan meminum khomr. Inilah yang dimaksudkan dalam al-Qur`an:

وما جعل عليكم فىالدين من حرج

Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan kamu dalam agama suatu  kesempitan”. (QS. al-Haj : 78)

Dan sekali lagi kami tegaskan bahwa syari’at Islam selalu menempatkan maslahah yang diterapkan dalam maqosid  asy syar’iyah. Maka masyaqoh (kesulitan) yang didapatkan oleh orang mukallaf dalam melakukan suatu ibadah itu merupakan konsekuensi dari bentuk taklif (tuntutan) yang mana tidak bisa dipisahkan dari adanya usaha dan kesungguhan. Oleh karenanya, masyaqoh semacam ini tidak mengurangi arti maslahah dalam setiap penerapan hukum-hukum Alloh. Jadi pahala sebagai buah hasil jerih payah pada hakekatnya merupakan wasilah (sarana) untuk pemenuhan pelaksanaan ibadah (li al wasa`il hukmu al maqoshid”).

IV. PERAN MASLAHAH

Pembahasan sub ini menjadi sangat penting. Betapa tidak. Sebab, seorang mujtahid tidak akan mendapatkan hasil maksimal kecuali ia menggunakan dowabith al-maslahah (patokan maslahah) dalam menggali suatu hukum dan untuk memahami secara seksama dalil-dalil al-Qur`an atau hadis. Di sinilah letak kredibilitas seorang mujtahid dalam menentukan produk hukum yang nantinya bisa diuji dan bisa dijadikan pedoman hukum syara’. Oleh karena itu, untuk mengetahui suatu maslahah dianggap valid, maka maslahah harus memenuhi lima syarat :

  1. Maslahah harus merupakan implementasi dari maqoshid al syar’iyah. Sebab, maslahah sangat berkaitan dengan syari’at Islam, yang pada dasarnya maslahah bukan merupakan dasar hukum yang berdiri sendiri seperti halnya Qur’an, hadits, ijma’, dan qiyas. Tetapi maslahah merupakan makna kulli (makna umum), yang terepresentasi pada hukum-hukum juz’i (parsial), yang mana hukum juz’i bersumber dari Qur’an, hadits, ijma’, dan qiyas demi menjaga kemaslahatan umat di dunia dan akherat. Singkatnya, makna kulli tidak akan terwujud tanpa merujuk pada dasar-dasar hukum juz’iyah, sehingga maslahah pun pada dasarnya bersumber dari dalil syara’.

Kita kembali pada pokok pembahasan pertama yaitu maqoshid al syar’iyah yang mengandung lima prinsip pokok (menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta). Sebagian ulama ada yang menambahkan harga diri sebagai tambahan dari lima diatas, namun yang keenam ini tidak perlu disebutkan. Sebab, sudah terwakili oleh penerapan lima prinsip pokok di atas..

Maqoshid al syar’iyah sesuai dengan tingkat kebutuhannya terbagi menjadi tiga macam :

  1. Dlaruriyat (primer), suatu kebuthan yang tidak bisa ditinggalkan untuk menjaga lima prinsip pokok di atas. Dan itu bisa terwujud dengan memenuhi elemen-elemen pokok dasarnya, dan menetapkan kaedah-kaedahnya serta menolak kerusakan yang terjadi dan yang akan terjadi. Contohnya seperti untuk menjaga eksistensi keturunan disyari’atkan nikah dan untuk melindungi keturunan dari kerusakan disyari’atkan pula sanksi hukum zina.
  2. Hajiyyat (sekunder), suatu kebutuhan yang mana tanpa pemenuhan kebutuhan tersebut maqoshid al syar’iyah sudah terpenuhi namun dalam pelaksanaannya masih mengalami kesulitan. Contoh seperti untuk menjaga keturunan disyari’atkan mahar, talak dan terpenuhinya syarat-syarat menjadi saksi atas pembuktian dakwaan zina.
  3. Tahsiniyyat (tersier), sama seperti hajiyyat. Dalam arti dengan tanpa terpenuhinya kebutuhan tersebut, maqosid al syar’iyah sudah terlaksana. Hanya saja kurang sesuai dengan nilai-nilai budaya setempat. Contohnya seperti untuk menjaga keselamatan jiwa disyari’atkan makan-makanan yang bergizi dan tidak berlebihan, dan untuk menjaga keturunan disyari’atkan kufu’ (seimbang).

Contoh-contoh di atas merupakan implementasi dari maqosid al syar’iyah. Jadi lima prinsip pokok pada intinya untuk merealisasikan satu tujuan pokok yaitu manusia diciptakan hanya untuk mengabdi kepada Allah.

وابتغ فيما أتاك الله الدار الآخرة ولا تنس نصيبك من الدنيا

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Alloh kepadamu (kebahagiaan) negeri akherat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi ”. (QS. Al-Qoshosh : 77)

Para ulama ahli tafsir sepakat bahwa yang dimaksud dengan lafazh nashibaka min al-dunya yaitu sesuatu yang bermanfaat untuk kehidupan akhirat. [5]

  1. Maslahah tidak bertentangan dengan al-Qur`an

Di depan sudah kami singgung bagaimanapun bentuk maslahah haruslah tercakup dalam lingkup nash.

Lalu, seperti apakah maslahah yang dianggap bertentangan dengan nash al-Qur`an ?

  1. Maslahah semu. Maslahah yang tidak berdasarkan pada nash yang qoth’iyy atau teks yang zhahir.

Yang dimaksud dengan nash qoth’iy menurut DR. Said Romdlon al-Buthi adalah: “Teks yang sudah pasti arti yang ditujukannya (qoth’iy al-dilalah) dan sudah tidak ada kemungkinan takhsish, majaz, naskh dsb. Sebab teks (nash) dalam bentuk ini sudah tertutup bagi siapapun dan arti apapun sepeninggalan Rasulullah SAW

Sebagaimana yang dikatakan Prof. DR. Wahab al Khallaf bahwa: “qoth’iy al-dilalah adalah teks (nash) yang hanya bisa dipahami dari teksnya secara langsung dan tidak memberi peluang kemungkinan ta’wil atau arti lain,   kecuali arti yang ditunjukkan oleh teks.[6]

Berbeda dengan Muhammad Arkoun  yang mengatakan bahwa tidak ada teks yang hanya menunjukkan arti tunggal dan tidak menunjukkan kemungkinan arti lain.[7]

Contoh ayat yang qothiy al-dilalah :

وأحل الله البيع وحرم الربا

Ayat itu secara tegas membedakan antara bai’ dan riba sebagai perbandingan antara sesuatu yang halal dan haram. Sedangkan pemikiran yang berkembang di kalangan ahli ekonomi dalam abad ini, demi meningkatkan pertumbuhan ekonomi, riba adalah sebuah keniscayaan. Analisa semacam ini tidak berdasar dan sewenang-wenang. Karena, riba sudah tidak memberi kemungkinan peluang arti lain selain pengambilan keuntungan pada salah satu pihak. Adapun yang dimaksud dari nash dhohir adalah teks (nash) yang sudah mempunyai arti literal (wadl’iyah) dan tidak menutup arti lain, selama sesuai dengan nash qoth’iy.[8] Akan tetapi, tidak begitu saja kita bisa menggunakan arti lain hanya semata-mata alasan maslahah yang berlawanan dengan arti literal (nash dhohir).[9] Jadi nash dhohir tidak mempunyai arti pasti, tergantung pada pembaca (baca: mujtahid) dalam memahaminya. Sehingga, perbedaan pendapat tidak bisa dihindari seperti ayat :

أو لامستم النساء

(QS. )[10]

Namun sejauh mana wewenang mujtahid dalam mengandaikan arti lain dalam menyikapi nash dhohir, sehingga arti-arti lain tersebut bisa diterima?

Ulama usul dalam masalah ini memberi beberapa batasan:

Pertama: arti yang dipakai harus sesuai dengan arti dasar (wadlo’).

Kedua: arti yang digunakan harus sesuai dengan adat yang berlaku.

Ketiga: atau arti yang digunakan harus sesuai dengan adat yang berlaku dizaman nabi.[11]

Ketiga syarat ini merupakan acuan untuk keabsahan sebuah ta’wil.

b. Maslahah yang mempunyai dasar nash (ashl) dengan melalui proses qiyas.

Pertentangan yang sudah disebutkan di atas merupakan pertentangan antara nash dan maslahah. Adapun pertentangan di sini adalah pertentangan maslahah sebagai fara’ (sesuatu yang diqiaskan) berlawanan dengan pokok qiyas, dan pertentangan tersebut bersifat juz’iyah seprti antara khosh-aam atau mutlaq-muqoyad. Pertentangan ini pada hakikatnya adalah pertentangan antara dua dalil syara’, yaitu antara dalil dhohir dan maslahah yang diambil dari qiyas yang memenuhi syarat-syaratnya. Bukan pertentangan antara nash al-Qur`an dengan maslahah itu sendiri.  Dalam masalah ini ta’wil sepenuhnya dikembalikan pada ijtihadnya para ulama dalam memahami dan menyikapinya. Sehingga setiap mujtahid akan berbeda satu dengan yang lain dalam mentarjih (mengunggulkan) dua dalil yang bertentangan tersebut, sesuai dengan kaidah-kaidah usul dan pandangan ijtihadanya masing-masing. Dalam hal ini imam Malik, Syafi’I dan Abu Hanifah Hanifah memberi kelonggaran untuk menta’wil nash dhohir dengan arti yang selaras dengan kebutuhan qiyas baik dengan cara takhsish (spesifikasi), idlmar (elipsis) atau cara-cara yang lain, yang mana masalah ini sudah dibahas dalam kitab-kitab ushul fikih. Misal ayat:

ولا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل

(QS. …)

Secara literal ayat tersebut mencakup semua bentuk harta benda dan di saat apapun (‘am). Arti ini bertentangan dengan hukum yang memperbolehkan seseorang mengambil harta orang lain ketika dalam keadaan terpaksa. Sebagaimana kita diperbolehkan memakan bangkai dalam keadaan dlorurot. Maka arti ‘aam dari teks di atas harus ditakhsish dengan qiyas. Ini bukan berarti menghilangkan arti teks dhohir, karena bagaimanapun arti literal tetap dipertahankan selama tidak ada indikasi arti lain (qorenah) baik dari syara’, akal atau budaya.

Lalu bagaimana menanggapi fikih Umar ra. ?

Munculnya permasalahan ini bermula dari apa yang dimunculkan Najmuddin al-Thufi dan kelompok yang sepaham dengannya. Ia mengatakan bahwa maslahah merupakan dalil syara’ yang sejajar dengan nash bahkan terkadang maslahah lebih diunggulkan dari pada nash, dengan merujuk dari beberapa ijtihadnya Umar r.a sebagai dasar pijakan dari ijtihad mereka.

DR. Musthofa Zaid mengatakan: “Sesungguhnya dalam sejarah para sahabat tidak ditemukan suatu produk hukum yang hanya didasarkan pada maslahah semata. Akan tetapi, hal ini -menurut Musthofa- tidak menjadikan patokan bagi Umar, bahkan Umar sendiri dalam penggalian hukum sudah berani menerjang rambu-rambu nash yang ada. Antara lain, Umar telah membuat kebijakan dengan mengatakan talak satu sama dengan talak tiga, juga dalam masalah diperbolehkannya mengqishosh kelompok yang secara bersama-sama membunuh seseorang. Juga dalam masalah tidak diberlakukannya hukum qishosh bagi pencuri pada situasi kelaparan (muja’ah), dengan alasan bahwa menjaga jiwa harus didahulukan daripada menjaga harta. Padahal ayat-ayat yang menerangkan qishosh bagi pencuri sudah jelas.[12] Sehingga dalam hal ini prof. DR. Ali Hasbullah mengkritisi Umar dengan mengatakan bahwa Umar telah melanggar aturan nash yang telah ada.[13] Senada dengan Ali Hasbulloh, Ahmad Amin juga mengatakan bahwa Umar telah menggunakan akal melebihi batas kewenangannya, karena Umar telah mendefiniskan Al Qur`an dan hadits ditujukan untuk pencapaian maslahah, sebagai modal keberanian Umar untuk hanya mengacu pada maslahah saja atau memahami Qur`an dengan mengambil substansinya saja.[14]

Kritik-kritik yang dialamatkan pada Umar sangat keliru. Umar tidak sebagaimana yang mereka tuduhkan. Sebab fakta yang ada menunjukkan bahwa Umar dalam menentukan hukum-hukum Allah sangat hati-hati dan dalam mengkaji dalil-dalil al-Qur`an tidak keluar dari ketetapan nash. Di kalangan para sahabat Umar adalah sosok yang sangat ahli dalam meneliti dan memahami nash dibanding sahabat nabi lainnya. Sangatlah keliru dan tidak etis menuduh seorang sahabat nabi dalam mengkaji nash-nash Al Qur’an telah keluar dari apa yang telah disyari’atkan nabi dan yang dipraktikkan sahabat-sahabat yang lainnya.

Imam Syafi’I mengatakan, ketika Umar membuat sebuah keputusan datanglah Dlohak ibn Sufyan memberi kabar bahwa apa yang ia putuskan bertentangan dengan keputusan nabi. Lalu apa yang dilakukan Umar saat itu?. Umar tidak langsung percaya begitu saja, akan tetapi ia sowan kepada rasul SAW untuk mengklarifikasi apa yang dikatakan Dlohak. Setelah tahu dan mendengar langsung dari nabi, Umar berkata: “Sesungguhnya keputusanku hanya menurut penilaian pribadiku”.[15] Sikap ini menunjukkan betapa Umar sangat berhati-hati dalam menerima kalau kabar tersebut bukan dari nabi.

Berikut ini kami sebutkan beberapa kebijakan Umar yang dianggap kontroversial:

  1. Tidak dilaksanakannya potong tangan bagi pencuri pada saat kelaparan, yang menurut mereka keluar dari ayat:

والسارق والسارقة فاقطعوا أيديهما جزآء بما كسبا نكالا من الله

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Alloh”. (Q.S. Al-Ma’idah : 38)

Tuduhan ini tidak berdasar, karena ayat di situ bersifat ‘aam (umum) dan membutuhkan takhsish (spesifikasi). Seperti banyak dan tempat barang yang dicuri, dan tidak adanya syubhad (ketidak jelasan status barang yang dicuri, sebab ada kemungkinan pencurinya masih mempunyai hak), yang mana ketentuan-ketentuan ini bisa dirujuk pada hadits nabi. Seperti hadis :

إدرأوا الحدود بالشبهات

Janganlah berlakukan had-had karena disebabkan adanya syubhad ”. (HR. Ibnu Abbas ra.)

Juga hadis yang diriwayatkan A’isyah r.a. :

إدرأوا الحدود عن المسلمين ما استطعتم فإن وجدتم للمسلم مخرجا فخلوا سبيله ، فإن الإمام لأن يخطئ فى العفو خير من أن يخطئ فى العقوبة

Janganlah berlakukan had-had dari orang-orang muslim selama engkau kuasa untuk menolaknya, kemudian jika apabila engkau menemukan jalan keluar terhadap orang muslim, maka lepaskanlah jalannya, sesungguhnya imam ketika salah dalam membuat kebijakan dengan memberikan ampunan, itu lebih baik dari pada salah dalam memberikan hukuman ”.(HR. Al Thirmidzi dan Ahmad bin Hanbal)

Kedua hadis ini merupakan takhsish dari ayat-ayat yang menerangkan had, termasuk di dalamnya had bagi pencuri. Tidak ada satupun ulama yang mengingkari keberadaan had mencuri ini gugur ketika di situ ada bentuk syubhad. Cuma yang menjadi khilaf (perbedaan pendapat) adalah interpretasi hakikat syubhat itu sendiri. Keputusan Umar (penggugurn had) di sini dalam rangka mengaplikasikan Hadits nabi di atas, yaitu gugurnya had bagi seorang pencuri ketika barang yang dicuri masih berstatus syubhad. Seperti seorang istri yang mengambil harta suaminya atau seorang yang mencuri dalam keadaan terpaksa untuk memenuhi kebutuhannya. Dan sudah menjadi kesepakatan ulama bahwa hakikat syubhad adalah masalah ijtihadiyah bukan merupakan ketentuan nash al-Qur`an.

  1. Keputusan Umar atas pelaksanaan qishosh terhadap suatu kelompok yang telah membunuh satu orang.

Menurut mereka, keputusan Umar dalam masalah ini juga melenceng dari ayat Qur`an:

الحر بالحر والعبد بالعبد والأنثى بالأنثى

“Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita”.(Q.S. Al-Baqarah : 178)

وكتبنا عليهم أن النفس بالنفس والعين بالعين والأنف بالأنف والأذن بالأذن والسن بالسن والجروح قصاص

“Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka didalamnya (attaurat) bahwasannya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi dan luka-luka (pun) ada qishoshnya”.(QS. Al-Ma`idah:45)

Perlu digaris bawahi keberadaan hukum qishosh merupakan manifestasi dari maslahah yang berupa menjaga jiwa. Dan kedua ayat di atas bukanlah merupakan nash yang menerangkan hukum qishosh terhadap kelompok yang telah membunuh satu orang. Akan tetapi kedua ayat tersebut hanya menjelaskan tentang hukum qishosh diberlakukan ketika pembunuhan dilakukan oleh orang merdeka yang membunuh orang merdeka lainnya. Pembunuhan disini merupakan ‘illat (alasan) diberlakukannya qishosh, dan illat ini ditunjukkan oleh partikel ba’ yang punya makna sebab. Harus diketahui bahwa arti dari membunuh yaitu suatu upaya yang bisa mengakibatkan hilangnya nyawa. Sedang pembunuhan yang dilakukan oleh masing-masing individu dari kelompok tersebut bisa mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang.[16] Jadi cukup jelas bahwa ayat qishosh di atas menunjukkan bahwa pengeroyokan terhadap seseorang yang bisa mengakibatkan hilangnya nyawa akan dihukum qishosh, berdasarkan nash (baca: ‘illat). Dan ‘illat tersebut -seperti yang disepakati oleh ulama- sudah benar-benar terwujud pada masing-masing pelaku. Kalau begitu, bagaimana mungkin Umar menyimpang dari nash al-Qur`an?

  1. Maslahah tidak bertentangan dengan hadis nabi

Hadis sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur`an tidak bertentangan  dengan Al-Qur`an. Sebab Hadits sendiri berfungsi sebagai penjelas Al-Qur`an serta sebagai tauladan kepada umat manusia, ayat Qur`an:

قل إن كنتم تحبون الله فاتبعونى يحببكم الله

“Katakanlah:”Jika kamu (benar-benar) mencintai Alloh, ikutilah aku, niscaya Alloh mengasihimu”.(Q.S. Ali Imrn : 31)

Hanya saja yang perlu dicatat, sampai sejauh mana hadits bisa diterima ? Karena sangat berpengaruh sekali pada pembahasan maslahah ini. Sehingga tidak bertentangan dengan Hadits. Al-Buthi dalam kitabnya Dlowabith al-Maslahah mengatakan: “Hadits bisa dijadikan hujjah (pedoman hukum) jika sanad (sumber) hadis tersebut mutawatir, atau hadis ahad akan tetapi harus dengan syarat-syarat tertentu. Karena sifatnya hadis ahad sendiri masih dhonny (membutuhkan klarifikasi dan kajian ulang), yang sudah bisa dijadikan sumber hukum ketika sudah sampai pada tarap qoth’iyyyah al-tsubuth.[17] Seperti menyikapinya Umar pada hadis di atas[18] yang menunjukkan bahwa hadis ahad tidak begitu saja diterima, akan tetapi harus ditinjau kembali sumber-sumbernya. Sebagaimana dikatakan Syafi’I ketika mengomentarai sikap Umar bahwa tidak dibenarkannya seorang pemimpin agama dan bagi cendekiawan muslim menerima Hadits ahad begitu saja.[19] Begitu pula sikap yang diambil A’isyah ketika menerima hadis Ibn Umar tentang masalah disiksanya mayit akibat tangisan keluarganya.

أخرجه فى التيسير عن الستة إلا أبى داود بلفظ “إن الميت يعذب ببكاء الحي عليه” وأخرجه ابن حجر فى التلخيص الخبير بلفظ “ببكاء أهله عليه” وقال هذا حديث متفق عليه

Dalam kitab Taisir yang bersumber dari ulama sittah kecuali Abu Dawud dengan ungkapan “bahwa mayit disiksa sebab tangisan orang yang masih hidup”, Ibn Hajar dalam kitab Talkhish al-Khabir dengan ungkapan “ sebab tangisan keluarganya ” dan mengatakan bahwa Hadits ini muttafaq alaih ”.

Karena menurut ijtihad A’isyah, hadits di atas bertolak belakang dengan ayat al-Qur`an :

ولا تزر وازرة وزر أخرى

Bukan berarti A’isyah menolak hadis ahad. Akan tetapi ketika ada pertentangan antara nash al-Qur`an dengan Hadits Ahad maka nash al-Qur`an-lah yang harus didahulukan. Sebagian intelektual Islam -termasuk Prof. DR. Ali Hasbullah-  mengatakan, ketika maslahah bertentangan dengan nash atau qiyas maka, pertentangan seperti ini membuka ruang untuk dikaji. Lebih jauh lagi Prof. Dr. Ali Hasbullah mengatakan: “Ketika saya menelaah kembali berbagai masalah-masalah fur’uiyah telah aku temukan maslahah berlawanan dengan nash dan Hadits. Seperti ijtihadnya imam Hanafiyah atas tidak diberlakukannya taghrib (pengasingan) dalam had zina, dengan alasan menjaga agama, bertentangan dengan hadits nabi:

البكر بالبكر جلد مائة وتغرب عام

orang merdeka yang telah berbuat zina terhadap orang merdeka lainnya di jild seratus kali dan di asingkan setahun ”.

Begitu juga pendapat jumhur ulama yang memperbolehkan pemberian yang tidak sama oleh orang tua terhadap anak-anaknya, serta kebolehan mengambil duri di tanah suci yang bisa mengancam jiwa orang. Sedangkan hadits nabi jelas melarang perbuatan-perbuatan di atas.[20]

Imam madzahib al-arba’ah sepakat bahwa ketika nash syara’ mengatakan seperti itu maka bagaimanapun bentuk maslahah ditolak, sehingga yang dituduhkan oleh Prof. Dr. Ali Hasbulloh sangat tidak tepat. Para ulama dari madzhab Hanafi dalam mencetuskan hukum tidak dilaksanakannya taghrib karena berpijak dari ayat al-Qur`an :

فاجلدوا كل واحد منهما مائة جلدة

”Maka jilidlah masing-masing dari mereka berdua dengan seratus jilid”.(

Dengan alasan dera sudah mewakili had zina dan kalau ditambah taghrib berarti jilid adalah ‘bagian’ dari had zina demikian pula taghrib.[21]

Kalau para ulma dari madzhab Hanafi memakai kaidah :

إن الزيادة على النص نسخ

sesungguhnya menambahi nash itu menasekh

Sehingga kalau taghrib bagian dari had zina, sama saja menasikh mutawatir dengan Hadits ahad dan itu tidak diperbolehkan dalam madzhab Hanafiyah. Karena itu taghrib haruslah bagian dari ta’zir yang mana ta’zir sendiri sepenuhnya diserahkan kepada kebijakan imam sebagaimana yang dilakukan oleh Rasul.

Juga dasar ulama yang memeprbolehkan mengambil duri di tanah suci yang bisa mengancam jiwa seseorang dengan mengqiyaskan pada hadits riwayat A’isyah :

خمس من الدواب كلهن فواسق يقتلن فى الحل والحرم : الغراب والحداءة والعقرب والفأرة والكلب العقور (متفق عليه)

Adalah lima dari beberapa hewan yang semuanya merusak, yang kesemuanya boleh di bunuh baik di tanah suci maupun di luar tanah suci yaitu : burung gagak, rajawali, kalajengking, tikus dan anjing buas”.(Hadits Muttafaq Alaih)

Dalam hadis ini nabi memerintahkan untuk membunuh hewan-hewan tersebut dimanapun berada, karena hewan-hewan ini bisa mengancam jiwa manusia. Begitu pula duri yang juga bisa mengancam jiwa manusia. Jadi fungsi qiyas di sini ialah mentakhsish hadits:

لاينفر صيدها ولا يختلى شوكها

tidak di perbolehkan menakut-nakuti hewan buruan-nya (makkah) dan juga tidak di perbolehkan mengambil duri-nya (makkah)”.(Hadits muttafaq ‘Alaih)

Serta ijtihad-ijtihad yang lain yang telah dilakukan ulama, semuanya berlandaskan nash-nash al-Qur`an tidak hanya berpatokan pada maslahah semata

  1. Maslahah tidak bertentangan dengan qiyas (analogi)

Tidak semua dalil al-Qur`an atau hadis qoth’iyyaud dilalah dan tidak semua permasalahan yang ada tertuangkan langsung dalam teks al-Qur`an dan hadits. Banyak permasalahan di sekitar kita yang semakin hari semakin komplek dan berkembang, meskipun semuanya telah diatur oleh al-Qur`an dan Hadits namun dalil-dalil yang ada masih membutuhkan penggalian. Dan untuk menjawab permasalahan-permasalahan di atas syari’at meletakkan dasar-dasar dan kriteria-kriteria umum yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid untuk menggali dalil-dalil al-Qur`an dan Hadits. Mereka yang disebut al-Qur`an:

والراسخون فى العلم

Artinya :”orang-orang yang

Yaitu orang-orang yang mampu menggali hukum dengan mengqiyaskan suatu hukum yang sudah mempunyai nash (al-Qur`an dan Hadits) dengan perantaraan ‘illat hukum. Inilah yang disebut sebagai qiyas. Jadi hukum-hukum yang ada pada qiyas tidak lepas dari dasar hukum (al-Qur`an dan Hadits).

Prof. Dr. Sa’id Romdlon Al-Buthi dalam Dlowabith al-Maslahah menyebutkan kriteria ‘illat untuk dijadikan dasar qiyas:

  1. Illat yang ada pada maqis (far’u) termasuk ‘illat yang ada pada ashl (maqis alaih)
  2. Illat yang ada pada maqisalaih harus benar-benar terwujud dalam maqis
  3. Illat yang ada pada maqis tidak menjadikan rusaknya hukum asal.
  4. Illat yang ada pada maqis harus mempunyai sifat yang jelas dan dipertimbangkan oleh syara’.[22]

Meskipun kriteria ‘illat ini cukup ketat namun tidak menutup kemungkinan ulama berbeda pendapat dalam memahami ‘illat. Karena ‘illat sendiri ada yang kuat dan ada yang lemah.

Seperti melihat dansa yang diminati oleh banyak orang dengan alasan menghibur hati (tasliyah al-nafs), yang mana ‘illat ini disamakan dengan apa yang pernah dilakukan A’isyah ketika melihat dansanya orang Habasyi dengan seizin nabi. Namun di satu sisi melihat dansa tersebut terdapat ‘illat lain, yaitu terjadinya percampuran lain jenis dan terbuknya aurat yang mana ‘illat ini sudah ditegaskan dalam al-Qur`an:

ولا يبدين زينتهن إلا ماظهر منها

Artinya :”

Maka ‘illat menonton dansa di sini tidak bisa diqiyaskan dengan melihatnya A’isyah pada dansanya orang Habasyi, dikarenakan ‘illat menonton dansa ini terdapat fariq (perbedaan) yang berupa fitnah (perkara yang bisa menyebabkan dosa) . Sedangkan melihatnya A’isyah pada dansanya orang Habasyah tidak terdapat fitnah sama sekali. Sementara ‘illat fitnah di sini sangat berpengaruh pada penonton. Maka melihat dansa hukumnya tidak boleh karena terdapat fitnah.

Jadi hubungan qiyas dan mashlahah merupakan hubungan yang sangat erat. Dikarenakan dalil yang ada pada qiyas juga termasuk dalil bagi maslahah. Cuma dalil qiyas mempunyai satu poin tambahan yaitu punya kesamaan ‘illat langsung pada nash. Dan sudah barang tentu maslahah harus disesuaikan dengan qiyas. Masih banyak sekali permasalahan-permasalahan yang dianggap maslahah, akan tetapi tidak sesuai dengan qiyas. Di antaranya minuman bir yang sering dikonsmusi oleh orang sekarang. Kebanyakan peminum bir percaya bahwa minum bir banyak manfaatnya; di antaranya bisa menghangatkan badan dan menggemukkan badan. Akan tetapi di sisi lain bir mempunyai bahan yang memabukkan yang mana, sifat ini persis sama dengan sifat yang ada pada khomr.

إنما الخمر والميسر والأنصاب والأزلام رجس من عمل الشيطان

Maka minum bir hukumnya haram, karena bir mempunyai ‘illat yang persis-sama dengan khomr (memabukkan)

V. Maslahah Tidak Boleh Bertentangan Dengan Maslahah Lainnya Yang Lebih Penting Atau Maslahah Yang Sejajar Dengannya

Semua maslahah mempunyai nilai yang berbeda-beda tergantung takarannya masing-masing. Untuk mengetahui takaran tersebut Prof. Dr. Sa’id Romdlon al-Buthi menentukan tiga unsur pokok yang perlu diperhatikan:

  1. Dari sisi maslahah itu sendiri dan urutan prioritasnya
  2. Dari sisi cakupannya
  3. Dari sisi hasilnya.[23]

Ketiga tahapan ini bisa terealisasikan melalui penerapan lima unsur pokok yang tertuang dalam maqoshid al-syar’iyah dan ditambah urutan prioritas, dloruriyyat, hajiyyat, tahsinat. Untuk lebih jelasnya kita ambil contoh diwajibkannya jihad demi menjaga agama. Jika dua masalah yang sama bertentangan dalam dua kebutuhan, semisal keduanya sama-sama dloruri, sedangkan kebutuhannya berbeda yaitu menjaga agama dan menjaga akal. Maka bagi seorang mujtahid harus mendaulukan kepentingan menjaga agama. Tetapi kalau pertentangan tersebut sama-sama dloruri yang untuk menjaga satu kebutuhan. Contohnya seperti menjaga agama maka seorang mujtahid harus melihat maslahah pada tingkat yang kedua yaitu sisi kadar jangkauannya. Dalam arti nilai maslahah yang lebih besar harus didahulukan. Dengan mengetahui kriteria ‘illat maslahah ini seorang mujtahid akan lebih leluasa mengetahui tuntutan-tuntutan syari’at dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang terjadi.

VI. Maslahah Mursalah

A. Definisi maslahah mursalah.

Maslahah mursalah atau yang sering disebut istishlah إستصلاح secara bahasa artinya “terlepas” atau “bebas” dari keterangan yang menunjukkan boleh atau tidak bolehnya dilakukan.

Ada beberapa definisi yang beragam tentang maslahah mursalah ini, namun masing-masing memiliki kedekatan pengertiannya. Diantaranya seperti :

ما لم يشهد له من الشرع باالبطلان ولابالاعتبار نص معين

Maslahah yang tidak ada bukti dari syara’ dalam bentuk nash tertentu yang membatalkannya dan tidak ada yang mempertimbangkannya.

المناسب الذى لايعلم أن  الشارع الغاه أو اعتبره

Maslahah yang tidak diketahui apakah syari’ menolaknya atau mempertimbangkannya

. ما لم يشهد له إبطال ولا اعتبار معين

Maslahah yang tidak ada bukti petunjuk tertentu yang membatalaknnya juga tidak ada yang mempertimbangkannya.

Dan masih banyak lagi definisi-definisi tentang maslahah mursalah, namun pengertiannya hampir sama. Sehingga bisa ditarik kesimpulan tentang hakikat dari maslahah mursalah tersebut sebagai berikut :

  1. Maslahah mursalah adalah sesuatu yang baik menurut akal, dengan pertimbangan dapat mewujudkan kebaikan atau menghindari keburukan bagi umat manusia
  2. Apa yang dinilai maslahah harus selaras dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum.
  3. Apa yang dinilai maslahah mursalah tersebut tidak ada petunjuk syara’ yang mengakuinya atau menolaknya.[24]

B. Maslahah Mursalah Sebagai Metode Ijtihad.

Penggunaan maslahah mursalah sebagai metode ijtihad terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ulama ahli fiqih, karena tidak adanya dalil khusus yang menyatakan diterimanya maslahah itu oleh syari’, baik langsung atau tidak langsung sebagaimana definisi-definisi diatas. Mereka terbagi menjadi dua kelompok.

Kelompok yang menggunakan maslahah mursalah seperti Malikiyah dan Hanabilah tidaklah menggunakannya tanpa syarat, tetapi harus memenuhi beberapa syarat. Dan yang menjadi syarat umum adalah bahwa maslahah mursalah itu hanya digunakan pada saat tidak ditemukan nash sebagai rujukan.

Adapun syarat-syarat khusus yang harus dipenuhi antara lain :

  1. Maslahah mursalah haruslah merupakan maslahah yang hakiki dan bersifat umum. Artinya dapat diterima oleh akal sehat bahwa ia betul- betul mendatangkan manfaat bagi umat manusia dan menghindarkan kemudharatan.
  2. Apa yang dinilai akal sebagai suatu maslahah yang hakiki, harus sejalan dengan maksud dan tujuan syari’ dalam menetapkan suatu hukum, yaitu mewujudkan kemaslahatan bagi manusia.
  3. Apa yang dinilai sebagai maslahah tidak berbenturan dengan dalil-dalil syara’ baik Al Qur’an hadis maupun ijma’ ulama.
  4. Maslahah itu diamalkan dalam kondisi yang memerlukan yang seandainya suatu problem tidak diselesakan dengan maslahah ini, maka umat manusia akan berada dalam kesempitan hidup.

Persyaratan-persyaratan diatas terlihat bahwa ulama yang menggunakan maslahah mursalah dalam berijtihad sangat hati-hati, karena bagaimanapun menetapkan apa yang dilakukannya tidak ditemukan petunjuk hukum (dalil khusus), sehingga dalam menggunakannya mereka beralasan sebagai berikut :

  1. Adanya takrir (pengakuan) dari nabi atas penjelasan Mua’dz  bin Jabal yang akan menggunakan ijtihad bi al ro’yi bila tidak menemukan ayat Al Qur’an atau sunah nabi untuk menjawab sebuah kasus hukum. Penggunaan ijtihad ini mengacu pada penggunaan daya nalar atau sesuatu yang dinilai maslahah dan nabi sendiri waktu itu tidak mengharuskan untuk mencari nash.
  2. Adanya praktik di kalangan sahabat nabi tentang penggunaan maslahah mursalah sebagai suatu kadaan yang sudah diterima dan tidak diperdebatkan, seperti pengangkatan Abu Bakar sebagai kholifah, penyatuan bacaan Al Qur’an pada masa Ustman dan lain sebagainya. Bahkan terkesan maslahah yang digunakan para sahabat berlainan dari dalil nash yang ada, seperti memerangi orang yang tidak mau membayara zakat pada waktu kholifah Abu Bakar dan keputusan Umar tidak memberikan zakat untuk muallaf qulubuhum (orang-orang yang masih lemah imannya).
  3. Suatu maslahah bila sudah jelas kemaslahatannya dan telah sejalan dengan tujuan hukum syara’ maka  berarti sudah memenuhi tujuan syara’, meskipun tidak ada dalil khusus yang mendukungnya, sebaliknya bila tidak digunakan untuk menetapkan hukum berarti menelantarkan tujuan yang dimaksud syara’.
  4. Bila dalam keadaan tertentu untuk menetapkan hukum tidak boleh menggunakan metode maslahah mursalah maka akan menempatkan umat dalam kesulitan, sedangkan Alloh menghendaki kemudahan untuk hambanya dan menghindari kesulitan seperti ditegaskan dalam surat Al Baqarah : Q.S 2. 185).

Kelompok ulama yang menolak maslahah mursalah sebagai metode ijtihad seperti Syafi’iyyah dan Hanafiyah beralasan sebagai berikut :

  1. Bila suatu maslahah ada petunjuk syara’ yang membenarkannya atau mu’tabaroh maka ia termasuka dalam keumuman kiyas, seandainya tidak ada petunjuk yang membenarkannya maka ia  tidak mungkin disebut maslahah, mengamalkan sesuatu diluar petunjuk Al Qur’an dan sunah nabi berarti mengakui akan kurang lengkapnya kedua sumber hukum ini. Sedangkan Al Qur’an dan sunah nabi menyatakan bahwa Al Qur’an dan sunah telah sempurna dan lengkap.
  2. Menggunakan maslahah yang tidak mendapatkan pengakuan dari nash akan membawa pada penetapan hukum yang berlandaskan pada kehendak dan kemauan manusia. Cara seperti ini tidak lazim dalam prinsip-prinsip Islam.
  3. Menggunakan maslahah maslahah dalam ijtihad tanpa berpegang pada nash akan memunculkan sikap bebas dalam menentukan hukum yang dapat mengakibatkan kesewenang-wenangan dan kedhaliman atas nama maslahah.
  4. Seandainya dibolehkan berijtihad bdengan maslahah yang tidak mendapatkan dukungan dari nash, maka akan memberi peluang perubahan suatu hukum sesuai dengan perubahan ruang dan waktu. Akibatnya,  juga bisa berubah antara orang yang satu dengan orang yang lain.[25]

Bila diteliti secara seksama, perbedaan pendapat yang menerima atau yang menolak tampaknya tidak ada perbedaan secara prinsip karena kelompok yang menerima ternyata tidak menerima secara mutlak bahkan dengan menerapkan persyaratan yang ketat, begitu pula kelompok yang menolaknya, ternyata lebih didasarkan pada kekhawatiran adanya kekeliruan jika menetapkan hukum dengan sekehendak hati dan berdasarkan hawa nafsu. Jadi pada prinsipnya perbedaan yang ada tidak sampai memberikan pengaruh pada tingkat praktik.

Persoalan yang harus dihadapi umat Islam membutuhkan jawaban kepastian hukum yang tidak semuanya bisa ditemukan secara langsung dalam Al Qur’an, hadis, dan ijma’. Sehingga paling tidak dalam kasus tertentu maslahah mursalah bisa dijadikan suatu alternatif untuk menjawabnya.

VII. Penutup

Dari gambaran kriteria maslahah di atas kiranya bisa disimpulkan:

  1. al-Qur`an dan Hadits tidak boleh ditakhsish atau diqoyidi hanya dengan alasan maslahah semata. Sebab teks al-Qur`an hanya boleh ditakhsish atau diqoyidi dengan teks al-Qur`an yang lain atau dengan Hadits. Begitu juga sebaliknya.
  2. Hukum-hukum yang sudah ditetapkan oleh Qur`an-Hadits atau qiyas yang bersumber dari keduanya tidak bisa dirubah. Karena jika hukum-hukum tersebut bisa dirubah dengan alasan sudah tidak relevan dengan kondisi zaman dan diasumsikan sudah tdak menjamin kemaslahatan umat manusia maka yang terjadi hukum-hukum syari’at menjadi sesuatu yang cair dan tinggal namanya saja seiring dengan perjalanan ruang dan waktu.

Oleh karena itu standar maslahah tidak mengikuti kondisi sosial-budaya dan hasil eksperimen-eksperimen para ilmuwan tetapi harus dikembalikan pada al-Qur`an dan Hadits. Sehingga jika maslahah tidak dikembalikan pada kedua sumber di atas maka merupakan maslahah semu yang tidak bisa dijadikan pakem (metode ijtihad) untuk menghasilkan produk-produk hukum.


[1] Epicurus (341 SM.-271 M.) filosof Yunani, kemudian pemikiran ini diadopsi oleh filosof modern, seperti Thomas Hobbes (1588-1679 M.)

[2] Seperti halnya pendapat Zenon (270-342) filosof Yunani, ia hidup satu masa dengan Epicurus kemudian teori ini dikembangkan oleh filosof modern termasuk Immanuel Kant (1724-1804 M.)

[3] John Stuart Mill (1806-1873) Pakar filsafat etika, termasuk di dalamnya Jeremy Bentham (Inggris) dan Jean Jacques Rousseau (1712-1778).

[4] Asy-Syatibi “ Al Muwafaqot “ vol. 1/87 &  88

[5] lihat tafsir al-Thobari, al-Baghowi dan Abu Su’ud

[6] Prof. DR. Wahab al Khallaf “Ilmu usul figh” (Kuwait : Daar al kuwaitiyyah,1968) hal. 35

[7] Muhammad Arkoun  “Algeria”, dalam shireen I. Hunter (ed), The Politics of Islam Revivalism, hal. 182-183.

[8] Lihat Al Azmiri “ Al Mar’ah “ vol. 1/397

[9] Lihat Al Tajuddin Al Subki “ Jam’ul Jawami’ “ vol. 2/391 cet. Al Halabi

[10] Ulama Syafi’iyah dalam menyikapi lafal al-mulamasah diberi arti literal (memegang) dan Hanafi memberi lafal majaz (qiasan) yang mempunyai arti hubungan badan.

[11] Al Ghozali “ Al Mustashfa “ vol. 1/165

[12] DR. Mustofa Zaid “ Al Maslahah fil Syari’ah al Islamiy “ hal. 31

[13] Prof. Ali Hasbulloh “ Usul Tasyri’ Al Islami “ hal. 156

[14] Ahmad Amin “ Fajrul Islam “ hal. 238

[15] Lihat Imam Syafi’i “ikhtilaf al-Hadits hal. 19-20, Hamisy “Al-Umm”, vol. VII, juga “Al-Risalah”, hal. 426

[16] Al-Romli, “Nihayatul Muhtaj”, vol VII, hal. 14-15

[17] Dr. Said Romadlon al Buthy “ Dlowabitul maslahah “ hal. 164 cet. Muassasah al risalah /1982 M.

[18] Lihat hadist riwayat Dlohaq bin Sofyan

[19] Imam Syafi’I “ Al Risalah “ hal. 435

[20] Prof. DR. Ali Hasbulloh “usul al-Tasyri’ al-Islami”, hal. 155-156

[21] al-Syarakhsi “Al-Mabsuth”, vol IX, hal. 44

[22] Dr. Said Romadlon al Buthy “ Dlowabitul maslahah “ hal. 219-220 cet. Muassasah al risalah /1982 M

[23] Ibid hal. 249

[24] DR. Wahbah al Zuhaily “Usul figh al islami” vol.II/799.

[25] Abu Zahroh “Usul figh” hal. 280-282.

Menjadi bapak yang penuh kasih sayang

Tujuan dari keseluruhan eksistensi kita adalah membawa anak-anak lahir ke dunia.
Naguib Mahfudz

Peran orang tua, terutama bapak, dalam mendidik putra-putrinya telah dimulai bahkan sejak mengumandangkan azan pertama di dekat telinganya, beberapa saat setelah persalinan. Dan, tidak pernah berakhir hingga hembusan napas yang terakhir. Setiap orang tua adalah ro’in atau pemimpin, yang nantinya dimintai pertanggung jawaban atas anak-anaknya. Ibarat kertas yang masih kosong, kita memegang masing-masing sebuah pencil dan step. Buatlah sketsa, berikan warna. Selanjutnya, biarkan dia menyempurnakan gambar dirinya sendiri. Anak sebagaimana orang tuanya adalah juga manusia. Bukan sebuah mesin bergerak yang bisa deprogram dengan menginstall software.

Nasib Anak-anak Kita
Anak-anak kita barangkali adalah satu-satunya ‘barang’ titipan yang dapat membawa kebahagiaan, keceriaan, rejeki, dan keharmonisan di rumah tangga. Maka tak heran, jika banyak cara ditempuh, medis ataupun nonmedis, oleh sebuah keluarga yang tak kunjung mendapat karunia tersebut. Namun, tak jarang pula ada keluarga yang menyia-nyiakan keberadaan mereka. Merenggut masa kanak-kanak mereka dengan eksploitasi yang tidak manusiawi. Hanya karena alasan sulitnya mencari ekonomi. Bahkan ada yang tega menjual mereka demi keserakahan pribadi.
Pada saat si kecil lahir, dalam keadaan selamat, timbul sebuah perasaan bahagia dan syukur yang meluap-luap. Sehingga hampir setiap saat, kita mendekapnya, sering-sering mengecup keningnya, dan menatapnya dengan pandangan mata yang seolah mengisyaratkan sebuah janji untuk tidak akan pernah berpaling darinya satu menit pun. Namun, ketika si kecil mulai tumbuh, yang sebetulnya semakin membutuhkan kehadiran kita, ia justru semakin sering diabaikan. Bahkan ketika si kecil sudah agak lebih besar perhatian orang tua, terutama dari bapak, akan semakin surut intensitasnya. Berganti kunjungan-kunjungan rutin, di sela-sela kelehalan bekerja, sebagai bentuk formalitas saja.
Pola kehidupan seperti ini, terutama, banyak terjadi di perkotaan yang menuntut biaya hidup relative lebih tinggi. Sementara godaan untuk meniti karier sulit untuk dielakkan, baik oleh suami maupun istri. Sehingga, tak jarang anak-anak justru lebih kenal pembantu atau baby sitter ketimbang ibu dan bapaknya sendiri. Belum lagi ditambah tren perceraian yang belakangan seakan-akan telah menjadi gaya hidup sebagian orang. Lalu, kasus kekerasan dalam rumah tangga yang keberadaannya, oleh pakar sosiolog, dikatakan seperti fenomena gunung es: terlihat kecil di permukaan, tapi besar menjulang di kedalaman. Maka ujungnya anak-anaklah yang menjadi korban. Apalagi tradisi berdiskusi dan mengomunikasikan persoalan keluarga masih teramat lemah di negeri ini.
Namun, bukan berarti hal itu hanya selalu terjadi di perkotaan. Di desa-desa sekalipun, terutama karena minimnya informasi, tak sedikit keluarga yang terkesan tak acuh terhadap masa perkembangan putra-putrinya. Berawal dari sebuah anggapan bahwa anak adalah semata-mata urusan ibu. Sementara ia juga harus telaten mengurus pengeluaran belanja, menyiapkan makanan bergizi untuk keluarga, dan menghadirkan suasana nyaman di rumah. Maka mau tak mau si Kecil harus berbagi kasih sayang dengan prabot rumah tangga. Belum lagi ketika masa panen tiba, tetap istri harus ikut repot. Karena tak mungkin semuanya dapat dikerjakan sendiri oleh suami. Lagi-lagi anak-anaklah yang akan terabaikan.
Ini belum berkaitan dengan porsi pendidikan keagamaan yang seharusnya sudah mereka enyam sejak dini. Karena selama ini kebanyakan orang tua selalu berpikir bahwa belajar itu otomatis terhenti ketika anak keluar dari pintu sekolahan, dan mengaji hanya cukup di surau dan masjid saja. Sementara rumah yang merupakan tempat anak-anak kita menghabiskan sebagian besar waktunya, sama sekali jauh dari unsur-unsur pendidikan. Lebih-lebih ketika bapak dan ibu tidak bisa menjadi suri tauladan.

Menciptakan Kedekatan
Sebagai seorang kepala rumah tangga memang sudah seharusnya seorang bapak mengupayakan sebuah kehidupan yang ideal untuk keluarganya. Menjaga agar tungku tetap menyala dan asap dapur selalu membumbung ke angkasa. Lebih-lebih, seorang bapak juga memiliki semacam tanggung jawab untuk menyediakan fasilitas hidup yang nyaman untuk keluarga, perhiasan untuk istri, beaya pendidikan anak dan infestasi saat pensiun di hari tua. Namun hal itu tidak kemudian menjadi sebuah alasan untuk sama sekali mengabaikan masa perkembangan anak.
Banyak penelitian menyebutkan, bahwa seorang anak yang dalam masa perkembangannya, selalu dibimbing oleh bapak yang hangat dan peduli, ketika dewasa akan memiliki kecenderungan untuk menjadi manusia yang mandiri, tegar, ulet, dan dapat mengendalikan gejolak emosionalnya. Dan penelitian itu berlaku kebalikannya bagi anak yang kurang mendapatkan sentuhan dan apresiasi dari bapaknya.
Karena pada saat tertentu kita menjadi kurang peka terhadap kondisi psikologis si Kecil. Misalnya dalam keadaan yang amat lelah sehabis kerja, kita menjadi teramat jengkel pada si Kecil yang mengajak bermain, atau mengajukan pertanyaan-pertanyaan sepele yang mengganggu. Tak jarang, saat itu, justru kita menjadikan si Kecil sebagai obyek kemarahan dan sekaligus pelampiasan dari ketidakpuasan terhadap dunia kerja.
Dalam keadaan seperti itu biasanya interaksi-interaksi sederhana yang dilakukan oleh si Kecil akan kita tanggapi dengan hardikan, begitu pula pertanyaan yang diajukannya, hanya akan kita jawab sekenanya. Bahkan tidak kita hiraukan. Disadari atau tidak hal itu dengan serta-merta akan meruntuhkan rasa percaya diri si Kecil, dengan menganggap setiap tindakannya adalah hal yang tidak berguna. Memang pertanyaan-pertanyaan tersebut boleh jadi sangat remeh bagi kita, namun tidak bagi si Kecil. Ketika kita mengabaikannya, saat itu juga kita telah melewatkan sebuah peluang emas untuk kemajuannya di masa depan.
Maka peran aktif seorang bapak, demi tumbuh kembangnya mental seorang anak, terletak pada kemampuannya membangun hubungan yang hangat dengan si Kecil. Menurut hasil riset terbaru, kedekatan seorang bapak ternyata dapat mempengaruhi perkembangan IQ anak hingga 6-7 di samping itu juga akan meningkatkan motivasi belajar, rasa humor, dan terutama kepercayaan diri. Bahkan dengan meluangkan sebentar dari waktu kita yang sempit, untuk menemani anak bermain akan membawa kenangan manis yang tak terlupakan sampai bertahun-tahun kemudian.
Keadaan tersebut akan terekam kuat dalam memorinya sampai ia dewasa. Sehingga kepatuhan yang terbangun bukan semata karena ketakutan, tapi berlandaskan kasih sayang dan sikap hormat yang tulus.

Dari Motherhood ke Parenthood

Asumsi bahwa tumbuhkembangnya si Kecil adalah tanggung jawab seorang ibu saja, sangat ditentang oleh banyak pakar psikologi perkembangan anak. Sebagaimana urusan rumahtangga lainnya, mengurus anak seharusnya adalah komitmen bersama antara suami dan istri. Karena anak-anak sama sekali tidak seperti peliharaan yang cukup diberi makan dan kepuasan secara materi belaka. Mereka juga membutuhkan suntikan ruhani sebagai bekal kehidupan spiritual di masa-masa mendatang. Sayangnya di negeri ini tidak ada lembaga pendidikan, terutama yang formal, yang secara intensif mempersiapkan anak didiknya untuk menjadi orang tua. Sehingga yang terjadi di banyak keluarga muda sekarang ini adalah ketidakadaanya persiapan matang sebagai orang tua yang baik. Sebab mereka mengambil predikat tersebut secara otomatis. Mengalir apa adanya. Permasalahan ini akan terus berantai, diturunkan pada anak-anak ketika dewasa, yang biasanya akan menjiplak sepenuhnya prilaku orang tua.

Maka mata rantai tersebut harus segera kita putus dengan memberi pengertian sedini mungkin kepada si Kecil, bahwa keberadaan mereka diakui dan pendapat mereka dihargai. Kita yakinkan pada si Kecil bahwa ia, sebagaimana manusia lainnya, layak menjalani kehidupan ini dengan sebaik-baiknya. Pertama-tama itu bisa dilakukan dengan cara merubah gaya kepengasuhan dari motherhood yang melulu didominasi oleh hanya ibu seorang, ke model parenthood, atau kepengasuhan bersama yang saling melengkapi antara suami dan istri.